Jumat, 07 Mei 2010

Advokasi dan Kampanye


Dalam hal advokasi, ada beberapa hal yang bisa dilakukan:

1. Penyadaran publik

lewat pelatihan-pelatihan, seminar-seminar, publikasi, dan lain-lain.

Sebagai contoh untuk kerja-kerja yang telah dilakukan menggunakan cara seperti ini adalah advokasi gender, advokasi anggaran, advokasi bencana, advokasi jurnalistik, dan lain-lain. Advokasi ini diusung secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau istilahnya "pemangku kepentingan", dan terutama pemerintah dan unsur-unsur masyarakat yang bersangkutan. Tujuannya adalah kesadaran publik yang lebih luas dalam hal respons masyarakat terhadap isu-isu tersebut serta tercermin dalam kebijakan publik (undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah termasuk institusi publik yang berwenang mengoordinasi hal ini)

Hal semacam ini biasanya dilakukan secara masif selama bertahun-tahun oleh berbagai NGO/LSM dengan dukungan dana yang luar biasa besar dari pendana asing serta dipicu oleh semacam kesepakatan internasional atas isu yang bersangkutan. Sebagai contoh sebuah proses, sementara isu kebencanaan telah diusung oleh suatu lembaga non pemerintah yang secara resmi berdiri sekitar tahun 2003, secara internasional isu semacam ini telah dimulai pada tahun 1994, dan pada tahun 2005 telah terbentuk sebuah platform yang bersifat internasional berjudul "Hyogo Framework for Action 2005-2015".

Pertanyaannya:

  • Siapa yang akan melakukan penyadaran publik untuk pelestarian warisan budaya? Jawabnya: Kita, orang-orang yang peduli.
  • Apa media yang bisa kita gunakan? Apa saja, asal terjangkau oleh dompet pribadi kita masing-masing atau lewat penggalangan dana yang kita lakukan.
  • Selain dari diri kita sendiri, siapa yang akan mendanai kegiatan kita? Tidak ada! Meskipun banyak yang akan peduli, tetapi untuk saat ini, kegiatan semacam ini hanya bisa kita lakukan atas swadaya kita sendiri.
  • Bagaimana dengan donor internasional yang kira-kira mau mendanai pelatihan-pelatihan, seminar-seminar, pubilkasi, advokasi ke dalam kebijakan publik melalui UU dan peraturan-peraturan pemerintah/daerah sebagaimana terjadi dalam advokasi bencana ? (Hahaha, saya kira ini pertanyaan yang lucu untuk diajukan pada saat ini --lagipula ini tentang kebudayaan kita sendiri, mengapa mesti menunggu bantuan orang lain?)

2. Advokasi ke dalam kebijakan publik

Kesadaran publik yang luas tidak akan berarti selama belum ada perubahan sikap dari pemerintah yang tercermin dalam bentuk kebijakan publik. Siapa yang memutuskan kebijakan publik? Tentu saja bukan kita, rakyat. Dan saat ini saya sedikit pesimis bahwa para "wakil rakyat" --kecuali segelintir individu di sana-- yang peduli terhadap permasalahanwarisan budaya dan pelestariannya. Untunglah, sebagian kecil birokrat kita tidak memerlukan dana yang luar biasa mahal untuk membuat kebijakan semacam ini. Yang mereka perlukan adalah dukungan, sebab karakter birokrasi yang lamban dan cenderung feudal acap kali tidak mengijinkan beberapa gelintir orang yang peduli ini untuk membuat perubahan peraturan ke arah yang lebih ramah dan lestari bagi warisan budaya. Siapa yang bisa memberikan dukungan? Akademisi dan masyarakat. Kata "dukungan" saja barangkali tidak cukup, sebab yang perlu diberikan adalah tekanan. Tekanan hanya bisa dilakukan oleh banyak orang, dan bukan hanya satu atau dua lembaga atau orang.

3. Aksi

Kata 'aksi' ini merujuk kepada suatu ekspresi ke ruang publik melalui media demonstrasi, performing arts, rapat massa, dan lain-lain. Kedengarannya mengerikan, barangkali, tetapi sebenarnya tidak selalu demikian. "Demonstrasi damai" pernah dilakukan bulan Juni yang lalu di Yogyakarta oleh kurang lebih 30 orang untuk memperingati Hari Purbakala. Karena demonstrasi ini atas nama kebudayaan, kegiatan ini lebih meyerupai performing arts yang mengundang senyum para pengguna jalan P. Mangkubumi dan Malioboro pada waktu itu. Setidak-tidaknya, dengan biaya minim, publik yang sehari-harinya sibuk dengan wisata, jalan-jalan, dan urusan mereka masing-masing pada hari itu mengerti tentang adanya Hari Purbakala. "Rapat massa" bisa dilakukan dengan melakukan orasi kebudayaan, festival rakyat, dan lain-lain.

Tentu tak cukup hanya sekali, namun para pewaris kebudayaan pun bukan hanya Anda yang membaca diskusi ini.

4. Gotong royong

Meskipun advokasi kebudayaan nampaknya berat dan susah, untunglah kebudayaan kita mewariskan satu kata kunci untuk kerja-kerja yang tampak berat dan susah semacam ini: gotong royong. Tidak perlu dana yang luar biasa besar dari luar negeri,yang memandulkan kemandirian kita dan dengan demikian justru bertentangan dengan niat kita untuk melestarikan budaya, tetapi dengan dilakukan bersama-sama hal yang tampaknya muskil ini akan menjadi nyata, suatu hari nanti.

blog comments powered by Disqus
Related Posts with Thumbnails
^ Kembali ke atas