Mempertanyakan Objektivitas Media
-- Pertarungan Objektivitas dan Kearifan Media
Seperti juga buku-buku terdahulu, kali ini sang penulis akan tetap dengan gaya bertuturnya untuk mengungkapkan delapan kekeliruan media dalam memilih dan mengemas tema kasus video porno itu. Nantikan!
Jatinangor Festival
Menarik disimak, dari pasukan per desa adalah kelompok kesenian kuda lumping. Hampir setiap RW masing-masing desa memiliki kelompok kesenian kuda lumping, dan pada saat karnaval tersebut terjadi kerasukan/kesurupan. Hal tersebut disebabkan irama musik yang mengiringi mempunyai kekuatan magis, selain itu siapapun dilarang bergabung dalam kelompok tersebut jika bukan anggotanya. Hal yang menarik lainnya adalah kreativitas pada pasukan drum band, meskipun dengan berpakaian seragam drum band namun peralatan yang digunakan sangat sederhana yaitu dengan menggunakan galon aqua dengan dihiasi rumbai-rumbai dari kertas warna-warni.
Barisan karnaval tersebut selain menyuguhkan aktivitas pedesaan juga beberapa menampilkan fenomena sosial yang sedang hangat di masyarakat. Fenomena sosial tersebut antara lain tentang kumpul kebo dan Aa’ Gym yang berpoligami, selain itu juga tentang merabahnya penyakit flu burung.
Jatinangor Festival ini puncaknya adalah pada penilaian dan kejuaraan pasukan per desa yang dilakukan di Lapangan, Ciawi. Biasanya puncak acara diadakan di Gerbang UNPAD, namun berhubung UNPAD tidak dapat digunakan karena adanya aktivitas sehubungan dengan mahasiswa baru maka tempat dialihkan ke Lapangan Ciawi.
Jatinangor Festival ini merupakan nilai-nilai budaya yang mentradisi dan perlu dilestarikan. Hal tersebut sehubungan dengan perkembangan sosial-budaya yang dapat dikaji perkembangan dan kreativitasnya di masa mendatang. Kekerabatan dan fenomena sosial yang berlangsung pun dapat terjabarkan dalam peragaan karnaval tersebut.
Ritual Balimau Masyarakat Sumatera Barat
Sebagai gambarannya bisa dipetik dari makna ungkapan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai. Maksudnya, hukum adat berdasarkan hukum agama, hukum agama berdasarkan Al-Quran. Ketentuan adat dan tradisi di sana tak boleh bertentangan dengan hukum agama. Itulah sebabnya, tradisi yang tak bertentangan dengan agama tetap hidup.
Kendati demikian ada juga tradisi yang masih hidup kendati sudah melahirkan pro dan kontra. Salah satunya adalah Tradisi Balimau yang biasanya dilakukan sehari sebelum masuk ramadhan. Menjelang sore, warga mandi masal di sungai dan danau. Sungai Batang Kalawi, Lubuk Minturun, Lubuk Paraku, Lubuk Hitam dan Kayu Gadang, adalah lokasi favorit mandi Balimau ini.
Sejumlah penduduk bahkan membawa daun pandan, buah limau, bunga mawar, kenanga, dan melati. Semua bahan balimau dimasukkan ke wadah berisi air dan dengan air inilah mereka mandi lalu bercebut ke dalam sungai. Ini bak mandi kembang yang menebar keharuman.
Konon, dari sinilah muncul istilah Balimau. Mereka percaya, mandi ini selain membersihkan juga menyucikan diri. Bahkan setelah mandi mereka juga saling bermaaf-mafan. Ini dilakukan agar mereka nyaman saat menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan.
Memang dalam Islam tak ditemukan ajaran seperti Balimau ini. Itulah sebabnya, tradisi ini sempat melahirkan kecaman dari tokoh agama di Padang. Tradisi ini dinilai peninggalan Hindu yang umatnya mensucikan diri di Sungai Gangga, India.
Balimau dianggap mirip dengan Makara Sankranti, yaitu saat umat Hindu mandi di Sungai Gangga untuk memuja dewa Surya pada pertengahan Januari, kemudian ada Raksabandha sebagai penguat tali kasih antar sesama yang dilakukan pada Juli-Agustus, lalu Vasanta Panchami pada Januari-Februai sebagai pensucian diri menyambut musim semi.
Namun, niat menyucikan yang dilakukan warga Minang tentu saja berbeda dengan umat Hindu. Tak ada pula pelarangannya. Apalagi dalam tradisi ini juga ada sentuhan ke-Islam-an, yaitu beramaaf-maafan menjelang ibadah puasa.
Hanya saja yang menjadi masalah, saat Tradisi Balimau berlangsung kerap terjadi perbuatan yang dinilai maksiat. Misalnya, ada yang menjadikan Tradisi Balimau sebagai ajang pacaran. Bahkan tak sedikit lelaki yang memelototi tubuh wanita yang lekuk tubuhnya terlihat jelas sebab badannya terbalut kain basah.
Kelakuan sebagian orang itulah yang membuat tokoh agama di Minang meradang, sehingga menuding Tradisi Balimau lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Sehingga tokoh agama ada yang menentang tradisi terus dihidupkan. Sebab, mereka menilai tradisi itu sudah tak sejalan dengan filosofi “adat bersendikan syarak”.
Sebenarnya tradisi mandi suci menyambut ramadhan ini bukan hanya terjadi di Tanah Minang saja. Di sejumlah daerah juga melakukan hal yang sama. Misalnya warga Riau melakukannya di Sungai Kampar. Istilahnya juga mirip dengan di Minang, yaitu Balimau Kasai.
Di kawasan Jawa, tradisi mandi suci disebut dengan Padusan. Ini dilakukan di setiap pelosok kampung. Juga dilakukan sehari menjelang ramadhan. Padusan adalah simbol mensucikan diri dari kotoran dengan harapan bisa menjalankan puasa dengan diawali kesucian lahir dan batin. Tempat mandi yang dicari adalah yang alami. Sebab mereka percaya sumber air yang alami adalah air suci yang menghasilkan tuah yang baik.
Disadur dari : Ramadhan Mubarak
In Memoriam: Rasinah
Rasinah lahir di Desa Pekandangan, Indramayu, Jawa Barat. Kedua orangtuanya juga seniman. Karena itu, darah seni pun mengucur deras di dalam nadinya. Sejak kecil ia telah diajari menari lengkap dengan aturan-aturan “mistis”nya. Bahkan, ia pun telah “diamenkan” di panggung-panggung hajatan (bebarang), untuk menegaskan suratan hidupnya yang seniman.
Masa kanak-kanak dan remaja Rasinah hanyalah tarian. Gejolak hidup Rasinah muda hanyalah panggung-panggung hajatan, lengkap dengan suara tetabuhannya. Sehingga, di luar tari Topeng Indramayu, sungguh ia bukanlah apa-apa. Ia adalah cerminan “anak wayang” yang sepanjang hidupnya lebih diberikan untuk panggung dan penonton. Ia sama sekali tidak mengenal hal lain di luar dunia itu. Misal, dunia sekolah atau menikmati keceriaan seperti kaum remaja sebayanya.
Keteguhan Rasinah untuk terus konsisten di jalurnya bukan tidak dihadang masalah. Pergeseran selera masyarakat dari kesenian tradisional ke kesenian yang lebih modern membuat Rasinah —dan seniman tradisional pada umumnya— terkena imbas besar. Mereka kehilangan panggung-panggung hajatan, lahan untuk mengekspresikan kesenimanannya, dan tentu saja, nafkah!
Masa-masa sulit seperti itu dirasakan benar oleh Rasinah. Terlebih setelah ayah dan ibunya meninggal. Ia memang anak tunggal. Sehingga, ia harus menggantungkan hidupnya pada sang suami. Ia nyaris tidak memiliki kesempatan untuk menari. Lantaran tidak ada lagi yang mengundangnya.
Dan dalam kesendirian dan keterasingan, ia hanya memasrahkan hidupnya pada Yang Mahamandiri. Ia tidak berani lagi menghitung-hitung suratan nasib di depannya. Karena, ia sadar bahwa ia hanyalah seniman tradisional, dengan segala keterbatasannya. Untuk beralih pada sumber penghidupan yang lain, ia juga merasa tidak bisa. Sehingga, ia pun hanya bisa menari di rumahnya.
Kerap, ia menari ditemani cucunya, Aerli. Dan, dengan sisa gendang, saron, dan gong, warisan dari ayahnya, ia juga coba ajarkan pada cucunya yang lain, Edi. Saat itu, ia memang tengah mencoba menitiskan bakat berkeseniannya kepada kedua cucunya. Cara itu ditempuh oleh Rasinah, agar ia tetap memiliki semangat untuk menari.
Tari Topeng Indramayu adalah satu-satunya harta karun yang dimilikinya. Sehingga, hanya dengan “benda” itulah ia bisa mewariskannya kepada keturunannya. Di benaknya hanya terlintas satu niat, agar hidup yang pahit itu bisa dijalani dengan keceriaan sambil membagi-bagikannya kepada orang terdekat.
Bangunan semangat untuk bertahan dan berbagi, serta kepasrahan untuk menyerahkan segala-galanya kepada Dzat Yang Mahasempurna, akhirnya berbuah kebahagiaan. Ketabahan dan kegigihan untuk terus berkesenian secara bersahaja membuahkan perhatian pihak lain.
Minat kalangan pemerhati kesenian itu yang bertekad merevitalisasi kesenian tari Topeng Indramayu menebarkan manisnya juga untuk Rasinah. Ia pun diminta untuk menari di berbagai tempat. Bukan sekadar panggung-panggung hajatan di kampung-kampung. Tapi, termasuk juga pentas-pentas di gedung-gedung kesenian di
Saat itu, ia hanya berkeyakinan bahwa pihak-pihak yang tiba-tiba peduli kepada dirinya dan tari Topeng Indramayunya adalah tangan-tangan Tuhan. Ya, cerminan sifat Rahman dan RahimNya. Gerbang kemuliaan memang tengah membuka di hadapannya.
Gubuk yang tadinya nyaris runtuh karena tidak pernah mendapat perhatian, perlahan-lahan ia bangun kembali. Bahkan, ia pun berhasil membangun sanggar sederhana di pinggaran rumahnya. Teman berlatihnya pun bukan hanya Aerli, cucunya. Tapi, anak-anak lain pun berdatangan untuk meminta “harta karun” yang dimilikinya. Seiring dengan itu, panggilan-panggilan untuk menari pun tidak pernah lagi berhenti.
Maka, Rasinah yang oleh murid-muridnya dipanggil Mimi (nenek) telah mendapati kegemilangan nan tiada
Hingga akhir t2007, ia masih menari bersama murid-muridnya, menari di panggung-panggung hajatan, sambil sesekali turun ke panggung untuk mengharapkan saweran. Ia terus menari dengan suasana keceriaan. Bahkan, ia juga bertekad untuk mati di atas panggung.
Tekad itu dibuktikan, ketika penyakit stroke menghajarnya di awal 2008, ia tetap saja mengajarkan tarian itu di sanggarnya. Meskipun, saat itu hanya menggunakan isyarat tangan dan mata sebagai cara memberikan pengarahan kepada murid-muridnya.
Istiqomah Rasinah untuk terus menekuni tari Topeng Indramayu, memang berbuah kemuliaan pula pada perjalanan hidupnya. Ia dihargai dan dimuliakan oleh orang lain, karena kesungguhan untuk terus bersabar dan bersyukur atas apa-apa yang didapatnya, seraya memasrahkan semuanya kepada Yang Mahamengatur.
Ahad jelang Ramadhan kemarin, ia harus mengakhiri seluruh pentas kehidupannya. Usia renta dan kerapuhan tubuh memang tidak mampu lagi menopang semangat jiwanya yang senantiasa menggelora. Hal itu dibuktikan dengan penampian pamungkasnya beberapa pekan lalu di sebuah acara di
Rasinah memang tidak wafat di atas pentas —seperti keinginannya semasa hidup. Ia terbaring kaku di kamar kecilnya di Desa Pekadangan, Indramayu, Jawa Barat. Beberapa saat berikutnya, ia beristirahat tenang bersama suami, orangtua, dan buyut-buyutnya yang seniman Topeng Indamayu, di Pemakaman Seniman di desa itu.
Catatan kecil yang tak pernah terhapuskan, saya pernah memintanya menarikan Tari Panji di tempat itu enam tahun silam. Dengan sentuhan artistik lokasi dan kharismanya, tarian itu masih membekas dan menyimpan kekuatan magisnya di mata saya. Selamat jalan, Mimi….[]
Efek Positif Event Bengkulu Riwayatmu Dulu
1939 Intrede resident van Benkoelen, Sumatra
Uniknya Batu Angkek-Angkek dari Sungayang, Sumatera Barat
Prambanan harus 'abadi'
Ini adalah simbol dari penerapan dari The Hague Convention 1954 untuk melindungi warisan budaya dalam konflik bersenjata.
Dengan dipasangnya simbol ini pada suatu benda cagar budaya, maka benda cagar budaya tersebut dilindungi secara internasional dari kerusakan disengaja oleh manusia. Dalam keadaan apapun benda cagar budaya yang memiliki logo ini dilarang untuk dirusak apalagi dihancurkan.
Di Indonesia, benda cagar budaya yang memiliki simbol ini adalah kompleks Candi Prambanan. Dengannya kompleks Candi Prambanan memiliki status istimewa sebaga cagar budaya yang harus selalu dilestarikan demi kemanusiaan.
Sepengetahuan saya hanya kompleks Candi Prambanan lah yang memiliki simbol ini, sementara situs cagar budaya lain yang terdaftar di UNESCO - Borobudur dan Sangiran - tidak memilikinya.
Sejauh ini Indonesia memiliki tujuh warisan budaya dan alami yang tercatat dalam daftar World Heritage milik UNESCO. Tiga masuk ke dalam kategori budaya (Prambanan, Borobudur, Sangiran) dan empat dalam kategori alami (Taman Nasional Komodo, TN Ujung Kulon, TN Lorentz, Hutan hujan tropis Sumatra).Sejauh ini pula Candi Borobudur lah yang terkenal seantero dunia. Dalam setiap pameran Cagar Budaya Dunia, hampir bisa dipastikan kehadiran Candi Borobudur, sedangkan dua situs budaya lainnya absen. Padahal jika memperhatikan perlindungan khusus yang dimiliki masing-masing cagar budaya tadi, maka Prambanan sebetulnya lebih istimewa daripada yang lain.
Saya belum menemukan keterangan lengkap tentang dasar pemilihan suatu benda cagar budaya sehingga ia bisa diberi status khusus dari penerapan konvensi ini. Akan tetapi, para ahli sejarah, arkeolog, dan arsitek (terutama sejarawan arsitektur) internasional tentu harus memiliki alasan kuat dan tidak sembarangan menetapkan suatu benda cagar budaya sebagai karya kebudayaan yang harus abadi demi kemanusiaan.
Kontribusi Tulisan di Blog MADYA
Sebagai sebuah gerakan kesadaran, hal ini hanya dimungkinkan dengan terus-menerus mengajak semua orang yang peduli untuk bersama-sama menyebarkan kepedulian ini kepada setiap orang di sekitar kita.
Kesadaran sebagai sebuah gerakan mempunyai ciri khas yang unik: tak seorang pun bisa melakukannya sendirian. Kesadaran harus dilakukan bersama-sama. Hal ini membawa sebuah implikasi yang menarik: tak seorang pun bisa mengklaim diri sendiri sebagai Gerakan, sekaligus setiap orang berhak menyebut dirinya sendiri sebagai bagian dari Gerakan ini.
Dengan demikian, berbicara tentang MADYA: tak ada seorang pun yang mewakili seluruh ide-ide, kerja-kerja, kepedulian, tentang MADYA; sekaligus bahwa setiap orang berhak untuk menyebut dirinya sendiri MADYA sembari memberikan kontribusi bagi kepedulian terhadap kebudayaan pada umumnya dan warisan budaya pada khususnya.
- Lalu, kontribusi apa yang bisa SAYA berikan?
Setiap orang bisa memberikan kontribusinya masing-masing. Kontribusi minimal, sekaligus kontribusi yang utama, adalah dukungan moral terhadap gerakan mencintai kebudayaan. Anda, maupun saya, serta setiap orang bisa memberikan kontribusi semacam ini dengan sepenuh-penuhnya.
Tak perlu pengorbanan yang terlalu besar, jika setiap orang mau memberikan sekedar apa yang bisa kita lakukan untuk membangun Indonesia yang lebih baik melalui Jalan Kebudayaan.
Mempertimbangkan hal ini, MADYA mengundang beberapa sahabat MADYA di FB untuk menulis di blog MADYA. Sebagaimana kita sadari bersama, tulisan merupakan sarana edifikasi yang paling mudah untuk menjangkau banyak orang.
Harapannya, MADYA --yang telah menjadi wadah berekspresi bagi sementara orang selama ini-- juga bisa menjadi wadah berekspresi bagi lebih banyak orang.
Wadah berekspresi yang bagaimana?
Itu terserah kepada Anda, yang menentukan masa depan MADYA khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
Jika Anda gemar menulis, dan mempunyai visi yang sama dengan kami: membangun kebudayaan Indonesia yang lebih baik; kami mempersilakan Anda untuk menulis bagi para pembaca page MADYA (saat ini 1707 orang dan sedikit-demi-sedikit secara alami setiap hari terus bertambah) dan/atau akun MADYA (saat ini 1770 orang dan sedikit-demi-sedikit secara alami setiap hari terus bertambah).
Sudah saatnya Anda menyuarakan kepedulian Anda pada kebudayaan, kepada publik yang lebih luas.
Salam budaya!
Mesjid Abad 18 Padang Betuah Bengkulu
Menurut warga sekitar, mesjid yang arsitektur atapnya berbentuk prisma ini telah ada sejak tahun 1800-an silam, tapi sangat sangat disayangkan, semenjak ditetapkannya mesjid ini menjadi cagar budaya, belum ada lagi perhatian pemerintah Bengkulu.
Sangat ironis, di saat Pemerintah Bengkulu meluncurkan tahun kunjungan wisata 2010, dan bertepatan akan diadakannya perhelatan besar MTQ Nasional 2010 ternyata mesjid peninggalan sejarah ini tidak pernah dilirik oleh pemerintah.
Mesjid berukuran 7 m x 7 m ini sudah sangat memprihatinkan sekali di beberapa sisi, padahal mesjid yang berusia ratusan tahun ini masih digunakan untuk beribadah.
Menurut beberapa orang warga, mereka pernah didatangi oleh seseorang yang mengaku dari Pemerintah Daerah Bengkulu tengah pertengahan Ramadhan kemarin, tapi janji yang tadinya mau merenovasi bangunan mesjid tak kunjung datang lagi.
Artkel asli dari: Pak Uncu Bengkulu
ETNOKULTURAL MELAYU DELI
Selanjutnya...... http://fosil73.wordpress.com/2009/04/20/etnokultural-melayu-deli/
Daftar Blog
- http://www.arupadhatuindonesia.com/
- http://fredywp.blogspot.com/
- http://www.pda-id.org/
- http://www.bentengindonesia.org/
- http://sekolahmbrosot.org/
- http://yodha-sarasvati.blogspot.com/
- http://ephineogiarios.blogspot.com/
- http://www.gamelanbvg.com/
- http://www.ihyarulfahmi.blogspot.com/
- http://www.berandasastra.blogspot.com/
- http://www.hermard.blogspot.com/
- http://www.jelajahjogja.blogspot.com/
- http://kodratbergerak.blogspot.com/
- http://saksi.wordpress.com/
- http://majapahitan.blogspot.com/
- http://purabesakih.blogspot.com/
- http://haisa.wordpress.com/
- http://blog.tlatahbocah.org/
- http://www.ra3wulandari.blogspot.com/
- http://belajarsejarahonline.blogspot.com/
- http://wisatasejarah.wordpress.com/
- http://www.roythaniago.wordpress.com/
- http://indonesiaseni.com/
- http://dokumentergumelem.blogspot.com/
- http://clc-purbalingga.blogspot.com/
- http://jkfb.wordpress.com/
- http://festivalfilmpurbalingga.blogspot.com/
- http://tarabuwana.blogspot.com
- http://www.wacananusantara.org/
- http://www.arkeologijawa.com/
- http://arkeologika.wordpress.com/
- http://scrivonuliswrite.wordpress.com/
- http://fosil73.wordpress.com/
- http://joemarbun.wordpress.com/
- http://prasetijo.wordpress.com/
- http://bengkulutube.blogspot.com/
- http://benkoelen.multiply.com/
- http://ragambengkulu.blogspot.com/
- http://ternateheritage.multiply.com/
- http://212notes.wordpress.com/
- http://chandikolo.wordpress.com/
- http://merthayasa.wordpress.com/
- http://djuliantosusantio.blogspot.com/
- http://gado-gadosangjurnalis.blogspot.com/
- http://hurahura.wordpress.com/
- http://www.borobudurlinks.com/
- http://212wanderlust.wordpress.com/
- http://advokasiwarisanbudaya.blogspot.com/
Anda memiliki blog tentang seni, sejarah, budaya, dan sejenisnya, yang belum tercantum dalam daftar ini? Silakan tulis pada komentar di bawah ini.
Apabila berminat, silakan berkontribusi dalam blog MADYA. Silakan menulis tentang apa saja sewaktu-waktu, asalkan demi kebudayaan Indonesia yang lebih baik bagi semua orang. Anda juga dipersilakan untuk mencantumkan URL blog/situs Anda sendiri.
Salam hangat,
Admin
BMKT dari Perairan Cirebon Kemungkinan Besar Akan Dimuseumkan
Beginilah jadinya kalau seorang menteri kebudayaan tak begitu paham apa artinya warisan budaya, selain menjual menjual gratisan tanpa berpikir panjang tentang tanggung jawab kepada anak-cucu:
"Dua minggu ini seluruh masyarakat heboh dan banyak yang peduli tentang kebudayaan Indonesia dan takut kalau kebudayaan itu dijual," kata Jero Wacik Menteri Kebudayaan dan Pariwisata ketika memberikan sambutan pelelangan di gedung ballroom Mina Bahari III Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Rabu (5/5).
Untuk pertama kalinya, pemerintah menyelenggarakan lelang artefak yang bernilai jutaan dolar dengan sistem lot dan ternyata tidak ada pesertanya. Waktu yang tidak memadai untuk sosialisi dituding sebagai salah satu penyebabnya.
Harta karun tersebut merupakan peninggalan bersejarah tetapi bukan sejarah Indonesia melainkan China karena isinya adalah barang-barang porselen dengan corak dan peninggalan dinasti China.
"Indonesia seharusnya tidak perlu kecewa karena harta tersebut bukan termasuk budaya Indonesia tapi Budaya China," kata Jero Wacik. ("Di balik Layar" Harta Karun The Cirebon Wreck. Jumat, 7 Mei 2010)
Anehnya, Menteri Perikanan dan Kelautan kita memiliki wawasan yang lebih luas daripada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata:
Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menyatakan, artefak-artefak harta karun peninggalan pelaut Cina yang awalnya hendak dilelang kemungkinan akan dimuseumkan.
"Tapi kami sekarang sedang bahas konsepnya, baru nanti dibuat, misalnya nanti museumnya seperti apa, "ujar Fadel di sela-sela kunjungan kerja di Sanur Bali, Selasa (10/5).
Fadel menyatakan, niat untuk memuseumkan harta karun tersebut ternyata didukung UNESCO. "UNESCO sangat menyambut baik, mereka punya pikiran yang sama, kalau boleh artefak ini tidak diperjualbelikan sehingga menjadi milik dunia dengan dimuseumkan," jelas Fadel. "Kita bikin museum bahari sehingga bisa menjadi objek wisata." (Tak Jadi Dilelang, Harta Karun Pelaut Cina Kemungkinan Dimuseumkan. Selasa, 11 Mei 2010)
Barangkali karena desakan ibu Menteri, yang tampaknya memiliki perhatian yang besar terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam harta karun nasional ini (Istri Fadel Tinjau Gudang Harta Karun, Selasa, 4 Mei 2010).
Menghadapi ancaman yang demikian menakutkan terhadap BMKT, serta rendahnya komitmen pemerintah pusat (dalam hal ini Pannas BMKT) untuk melindungi warisan budayanya sebagaimana terlihat dari belum ditandatanganinya konvensi UNESCO tentang perlindungan terhadap warisan budaya bawah air, barangkali benar pendapat editorial di The Jakarta Post.com berikut:
If preserving the wrecks in museums is costly, we should simply leave things where they are and allow curious visitors to dive around the site. (Editorial: Hidden treasures, Sat, 05/08/2010)
Praktis, berarti memberlakukan larangan bagi publik untuk mengangkat harta karun dari bawah air, dan memberlakukan kapal karam bagaikan museum tempat publik bisa datang untuk melihat-lihat. Lebih aman, dan bermanfaat bagi semua orang, kan?
Aksara Pallawa
Aksara Pallawa berkembang di India Selatan selama dinasti Pallawa, sekitar abad III-V M. Aksara ini dikembangkan dari aksara Brahmi. Ia terdiri dari sekelompok konsonan dan ada cara-cara berbeda untuk menulis tiap-tiap gugus konsonan. Mula-mula, aksara ini digunakan untuk menulis bahasa Sanskerta, Pali, dll. Kemudian aksara ini banyak ditemui pada prasasti-prasasti politik dan keagamaan di seluruh Asia Tenggara.
Aksara-aksara lain yang dipengaruhi oleh aksara Pallawa antara lain: Telugu, Kannada, Tamil, Malayalam, Sinhala, Burmese, Khmer, Lanna, Thai, Lao, Cham, Javanese, Balinese, Bugis dan Sunda.
Nama lain untuk menyebut aksara ini adalah Gupta Brahmi Selatan, proto-Kannada, Tamil Grantham, dll.
(Terjemahan bebas dari www.omniglot.com).
Di Indonesia, kita mengenal aksara ini antara lain dari prasasti Mulawarman (Kutai, abad IV-V M), prasasti Purnawarman (Tarumanagara, abad VI M), dan prasasti Sriwijaya (abad VI M).
Kini Anda bisa menulis di komputer dalam aksara Pallawa, menggunakan font yang bisa diunduh DI SINI. Petunjuk penulisannya bisa dibaca di blog Kompasiana.
Disajikan di sini seizin sahabat Wawan Supriadi.
Masih tentang blog MADYA (I)
Kebudayaan merupakan sebuah spektrum yang sangat luas, hampir sama luasnya dengan seluruh hidup manusia itu sendiri. Segala hal yang kita dengar, lihat, dan raba sehari-hari pasti ada kaitannya dengan kebudayaan. Apalagi jika kita berbicara tentang masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.
Bila kita berbicara tentang warisan budaya, dan advokasinya, hal ini masih tak cukup sempit untuk menyusun sebuah klasifikasi. Sebab, yang menjadi perhatian kita di sini bukan hanya menjadikan warisan budaya masa lalu sebagai sebuah aspek yang relevan bagi kehidupan kita sehari-hari kini, melainkan juga bagaimana kita membangun negara dan bangsa berangkat dari aspek-aspek kebudayaannya.
Mau tak mau, kita juga berurusan dengan unsur-unsur baru yang datang dari teknologi, inovasi, serta persentuhan dengan kebudayaan lain (yang terakhir ini telah berlangsung selama ribuan tahun, hanya saja kini terjadi semakin cepat dalam hitungan jam, menit dan detik). Dalam hal ini kita berbicara tentang bagaimana warisan budaya yang sudah ada bisa terus-menerus diperbaharui menjadi lebih segar, dan lebih baik.
Mempertimbangkan segala kesulitan ini, kami memberanikan diri menyusun beberapa kategori besar, demi keperluan penyusunan blog ini.
Secara garis besar, blog Madya terdiri dari tiga bagian (bagian-bagian yang belum tercantum di sini merupakan penambahan:
- Esai
- Warisan Budaya
- Humaniora
- Seni & Budaya
- Alam & Lingkungan
- Editorial
- Wacana (Pembangunan) & Inovasi
- Titir ! ! !
- Wisata & Jalan-jalan
- Masyarakat Tradisi
- Situs & Artefak
- BMKT
- Busana Tradisi
- Senjata Tradisi
- Cerita Rakyat, dan
- Aksara & Prasasti
Catatan berikutnya tentang prasasti: Sebagai catatan, MADYA mendapat dukungan penuh dari salah seorang sahabat MADYA, bung Wawan Supriadi, yang merelakan blog Beliau di Kompasiana untuk disalin di blog Madya.
Kategori berikutnya, Humaniora, sejauh ini juga hanya terdiri dari beberapa rubrik:
- Evolusi & Manusia Purba (banyak sahabat yang gemar topik ini, dan memperkaya pengetahuan kita tentang
- Prasejarah
- Sejarah Nusantara
- Sejarah Dunia
- Nilai-nilai dan filosofi
- Figur
- Pameran & Festival
- Buku & Film
- Jejaring & Komunitas
Solo Tourism Board Perlu Ada
"Selama ini promosi dilakukan sendiri-sendiri dengan dana yang kecil, tanpa segmentasi dan target pasar yang jelas sehingga pengaruhnya kecil sekali. Kami ingin adanya STB bisa membesarkan promosi dan besar pula dampaknya," kata Ketua Asosiasi Biro Perjalanan Wisata (Asita) Kota Solo, Suharto, Rabu (5/5/2010).
Dengan adanya STB tersebut, juga diharapkan komunikasi untuk pembangunan pariwisata di Kota Solo, baik antarpelaku wisata dan Pemerintah Kota Solo lebih baik lagi. "Kami berharap ada perhatian yang lebih dari pemkot, terutama soal dana promosi, karena yang kami promosikan tidak hanya obyek wisata tetapi Kota Solo," kata Suharto.
Advisor German Technical Cooperation (GTC) untuk program Regional Economic Development Indonesia, Hidayatullah Al Banjari, mengatakan, pengalaman di berbagai daerah atau negara berkembang, promosi pariwisata idealnya dilakukan melalui satu pintu agar hasilnya terukur dan mudah untuk pengawasan dan evaluasi. Program promosi pun diharapkan lebih terencana dan efektif.
"Ada perdebatan, Solo punya banyak kegiatan tetapi menurut pelaku wisata tidak ada dampaknya atau dampak yang dirasakan kecil. Sementara dinas terkait mengatakan telah berpromosi. Ini karena dilakukan sendiri-sendiri," kata Hidayatullah.
Dosen Program Studi Diploma III Usaha Perjalanan Wisata Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Bambang Ary Wibowo, mengatakan, organisasi STB hendaknya minimalis agar efisien. Ia juga mendorong agar pelaku wisata berani mandiri dalam pendanaan kegiatan promosi.
"Dengan adanya STB, meski menurut undang-undang dimungkinkan adanya bantuan dana dari pemerintah daerah, namun sifatnya tidak bisa terus-menerus," kata Bambang.
(Sumber asli: Kompas.com)
Robi, Si Pemburu Bekal Kubur
KARAWANG, KOMPAS.com — Robi adalah pelopor pemburu harta karun yang terdapat di makam-makam manusia protosejarah (2-4 M) yang tersebar di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Dia memulai "karier" sebagai pemburu harta "bekal kubur" sejak tahun 1976. Gara-gara orang Karang Nangka yang mengajaknya serta dalam perburuan bawaan kubur pada tahun tersebut, Robi akhirnya berinisiatif membuat tim hingga tujuh orang di Kampung Rawa Kandang RT 04/RW 15 Desa Cikuntul. Profesi ini diakui oleh Robi, yang ditemui di kediamannya di sempadan irigasi yang membelah desanya, dilakoni hingga tahun 1991.
Lantaran jam terbangnya yang sudah tinggi itulah, dengan nalar sederhana, Robi sampai bisa mengidentifikasi bahwa ternyata ada lima golongan manusia protosejarah. Masing-masing dapat dikenali melalui temuan kerangka yang berwarna merah, kuning, hitam, putih, dan coklat.
"Yang merah itu biasanya memakai hiasan semacam cipoa (sempoa), mungkin mereka berasal dari China. Kalau tulang yang warnanya kuning suka pakai gelang tangan dan kaki berbentuk ular, mungkin itu orang India ya? Tapi saya paling suka kalau menemukan mereka yang bertulang putih karena biasanya perhiasan yang dikenakan banyak: ada kalung, penutup mata, penutup aurat untuk kerangka perempuan, dan penutup bibir," terang Robi yang kini membuka warung kelontong di muka rumahnya.
Tentang temuan kerangka yang aneka warna tersebut, menurut arkeolog Amelia dari Puslitbang Arkenas, perbedaan warna tulang yang diyakini Robi sebagai perbedaan ras, menurutnya, hanyalah karena pengaruh sedimentasi.
Kini usia Robi sudah 65 tahun. Dari kerut-merut di wajahnya, terbaca jelas jika dirinya telah melewati hidup yang berat dan keras. Maklumlah, sejak melakukan perburuan tersebut, Robi memang menggantungkan hidupnya dari gali lobang tutup lobang. Artinya, jika dia harus menggali tanah milik orang yang diyakininya terdapat harta karun, maka selain akan memberi 20 persen dari hasil perburuan, dalam perjanjian dengan pemilik tanah disebutkan bahwa Robi juga berjanji akan meratakan kembali tanah yang dia gali bersama anggota timnya.
Tentu, selain emas yang diperoleh, beberapa kali Robi juga harus berurusan dengan pihak kecamatan yang menginterogasinya. Sekurangnya dua kali dia harus berurusan dengan yang berwajib, yakni tahun 1976 dan 1985. "Saya bilang ke Pak Camat, saya tidak mencari emas, saya hanya cari makan," ujar Robi yang mengaku tak pernah ditahan tiap kali usai diinterogasi.
Berkaca pada pengalamannya, Robi yakin bahwa tanah seluas 3 hektar di kampung yang kini ditinggalinya itu dahulu adalah wilayah pemakaman. Tak heran, di tiap sudut tanah dengan tanda-tanda awal berupa adanya pecahan genteng kuno dipastikan di bawahnya terdapat kerangka manusia beserta bekal bawaannya.
Selama "berburu", Robi mengaku pernah mendapat hasil yang sangat memuaskan. Itu terjadi pada tahun 1987 saat dia memimpin tujuh orang di kampungnya untuk menemukan dua kerangka manusia yang membawa bekal kubur cukup banyak. Bekal itu mulai dari penutup kemaluan wanita, penutup mata, kemloman, gelang, hingga penutup bibir. "Saya mendapat uang Rp 2,5 juta saat itu, padahal harga emas saat itu cuma Rp 17.000," ujar Robi kepada Kompas.com, Jumat (7/5/2010).
Menurutnya, uang sebanyak itu sebagian untuk membeli barang kebutuhan pokok. Sisanya disimpan dalam bentuk emas yang dia beli di salah satu toko emas di Karawang.
Namun begitulah kiranya. Pepatah yang mengatakan rezeki yang didapatkan secara mudah akan hilang pula secara mudah ternyata berlaku juga bagi Robi. "Karena saya merasa, kalau tabungan sudah habis saya tinggal menggali lagi. Akhirnya, harta saya pun habis juga," tutur Robi.
Kini, setelah ditinggal mati istrinya dan anak semata wayangnya telah pula menikah, Robi tinggal sendiri di atas tanah sewaan milik dinas pengairan yang harus dia bayar Rp 80.000 setiap tahunnya. Harta galian yang masih sisa di rumahnya hanyalah mata tombak, kalung keramik, dan periuk nasi. Sebagai kenang-kenangan, Robi juga masih menyimpan alat penggali bernama cater, yang dia bikin dan namai sendiri. Alat gali ini mirip senjata rencong.
"Dengan alat ini saya bisa menggali lebih mudah. Jari-jari saya tidak bakal terkena karang dan batu yang banyak saya temui di lobang galian," kenang Robi.
Sepengetahuan Robi, kelompok-kelompok pemburu bekal kubur ini tersebar di hampir tiap kampung seputar Kecamatan Tempuran. Misalnya di Kedung Ringin, Wangkal, Gowok Glatik, Dongkal, Cikunir, Sambi Batu, Talun Dadap, dan Blendung.
(Sumber asli: oase.kompas.com
"Di balik Layar" Harta Karun The Cirebon Wreck
Jakarta (ANTARA News) - Pada pekan-pekan terakhir Indonesia dikejutkan dengan penemuan harta karun kapal karam Cirebon atau yang dikenal dengan 'The Cirebon Wreck'. Mediapun berbondong-bondong memberitakan peristiwa yang belum pernah ada dan menempatkannya di berita utama.
"Dua minggu ini seluruh masyarakat heboh dan banyak yang peduli tentang kebuadayaan Indonesia dan takut kalau kebudayaan itu dijual," kata Jero Wacik Menteri Kebudayaan dan Pariwisata ketika memberikan sambutan pelelangan di gedung ballroom Mina Bahari III Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Rabu (5/5).
Untuk pertama kalinya, pemerintah menyelenggarakan lelang artefak yang bernilai jutaan dolar dengan sistem lot dan ternyata tidak ada pesertanya. Waktu yang tidak memadai untuk sosialisi dituding sebagai salah satu penyebabnya.
Harta karun tersebut merupakan peninggalan bersejarah tetapi bukan sejarah Indonesia melainkan China karena isinya adalah barang-barang porselen dengan corak dan peninggalan dinasti China.
"Indonesia seharusnya tidak perlu kecewa karena harta tersebut bukan termasuk budaya Indonesia tapi Budaya China," kata Jero Wacik.
Pelelangan hanyalah bagian akhir dari pengangkatan harta kapal karam itu. Sebelumnya, harta karun itu diangkat dengan taruhan nyawa dan masih dalam keadaan bercampur lumpur sebelum dibersihkan sedemikian rupa menjadi indah di atas rak pajangan.
Ekskavasi dan Snorkel
Ekskavasi Bawah Air adalah salah satu cara menemukan data arkeologi dengan keterampilan selam meliputi penggalian, pengangkatan dan penanganan temuan sampai pemindahan ke tempat penanganan.
Proses pengangkatan harta karun itu di bawah pengawasan ketat Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata diwakili Direktorat Peninggalan Bawah Air, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan TNI AL. Mereka semua di bawah naungan panitia nasional BMKT.
Pengawas Direktorat Peninggalan Bawah Air mengawasi teknik dan metode kerja pengangkatan, mendata benda temuan hasil pengangkatan.
Pengawas TNI AL mengamankan lokasi kerja dan memeriksa setiap orang yang menaiki dan meninggalkan kapal sedangkan pengawas Kementerian Kelautan dan Perikanan bertugas memeriksa kelengkapan izin tenaga kerja asing dan sarana kapal yang digunakan dan masing-masing dari pengawas membuat laporan dan berita acara pengangkatan.
"Petugas selalu stand by berada di atas kapal mengawasi para penyelam setiap hari, mereka bergantian sekitar dua minggu sekali sekalian membawa suplai makanan ke atas kapal," kata Gatot Ghautama, Kepala Subdit Perlindungan Bawah Air dan ikut melakukan pengawasan The Cirebon Wreck di atas kapal.
Kru pengangkatan ada 30 orang terdiri dari nahkoda, penyelam, petugas pembersih keramik dan koki.Pengangkatan bisa memakan waktu berbulan-bulan dan dilakukan hanya di siang hari agar terbantu cahaya matahari.
"Ada pembagian kerjanya, ada yang di atas kapal seperti koki dan di bawah para penyelam dan mereka melakukannya siang hari bukan malam hari," katanya.
Standar peralatan yaitu kapal bermotor yang memiliki tempat untuk meletakkan peralatan selam atau mesin peralatan lainnya dan crane (Katrol), alat untuk mengangkat barang-barang dari dasar laut.
Peralatan selam terdiri dari masker selam untuk melindungi mata dari pasir atau benda-benda kecil juga agar tidak iritasi sewaktu menyelam, snorkel (pipa pendek untuk bernafas penyelam), dan jaket pelampung sebagai alat menetralkan berat peselam ketika berada di dalam air.
Terdapat pula tabung udara (scuba tank), pengukur kedalaman (depth gauge), kaki katak (fins), pakaian penyelam (wet suit) yang berfungsi sebagai penahan panas tubuh agar tidak hilang secara berlebihan, sarung tangan, jam tangan (dive watch) dan kompas.
"Penyelam bisa berjam-jam di dalam air dengan pergantian tabung di bawah laut Scuba sudah disiapkan dengan digatung di sisi kapal jadi penyelam tinggal mengambilnya," katanya.
Peralatan lainnya antara lain side scansonar alat yang digunakan untuk menjajaki benda-benda di bawah air seperti kapal karam bahkan ranjau, Kamera dan Video bawah air dan Komputer untuk mengolah data.
"Salah seorang penyelam melakukan dokumentasi video sehingga kita tahu apa yang dilakukannya dibawah," katanya.
Pengangkatan menggunakan lifting balloon berfungsi untuk mengangkat temuan dasar laut ke permukaan.
"Kalau balon diikatkan ke empat sudut kotak setelah ikatan dibuka maka balon tersebut akan mengelurkan gas yang akan mengangkatnya ke atas permukaan, lalu beberapa kru diatas siap membawanya ke kapal," katanya.
Tidak tertinggal, Airlift alat untuk menampakan temuan yang tertutup pasir atau lumpur.
"Penyelam profesional memakai Airlift biar hartanya tampak tapi kalau yang ilegal pakai linggis,"katanya.
Penyelaman membutuhkan keterampilan dan berisiko juga harus sesuai aturan.
"Penyelaman sama saja dengan terjun payung kalau terjun payung salah ikatannya bisa nyungsep, nah penyelaman kalau salah menyelamnya bisa lumbuh bahkan mati," kata Surya Helmi, Direktur Peniggalan Arkeologi Bawah Air kepada ANTARA News, Kamis.
Sebelum dan sesudah penyelaman, para penyelam akan diperiksa kondisi kesehatannya.
Sedikit cerita seram dari Gatot dapat menggambarkan betapa rawannya pekerjaan mereka.
"Dulu pernah ada penyelam kita di Manokwari, Papua, ketika menyelam ia tidak sesuai aturan disamping kesehatan yang kurang sehat, ketika penyelaman hari pertama tidak apa-apa tapi setelah penyelaman hari kedua setelah atas kapal tiba-tiba semua badannya terasa tebal dan tidak bisa digerakkan keesokannya dipastikan lumpuh karena terdapat kerusakan di aliran darahnya."
Cara menyelam tidak boleh terjun langsung ke dasar laut tapi harus mengikuti arah arus laut dengan melayang-layang begitu juga ketika kembali ke permukaan karena tekanan arus laut yang kuat bisa menyebabkan kematian.
"Jelas arus laut di permukaan dan di bawah lebih kuat di bawah makanya harus hati-hati belum dengan temperatur suhu air laut yang ekstrem makanya seorang yang telah melakukan penyelaman tidak boleh menaiki pesawat selama 24 jam," katanya.
Penggalian dibawah air lebih mudah di banding di darat, tetapi jika benda arkeologi sudah menjadi satu dengan karang akan lebih sulit dari di darat. Masalah utamanya adalah waktu bekerja didalam air sangat terbatas dan tergantung kedalaman benda arkeologi itu sendiri.
Hubungan antara suhu dengan kedalaman sangat erat sekali, semakin dalam perairan laut maka semakin rendah suhunya. Perubahan suhu mencolok terjadi pada kedalaman 200 meter - 1000 meter.
Make Over Harta Karun
Pengambilan harta karun harus diambil secara hati-hati, jangan sampai pecah atau patah. Jika barang yang mudah pecah dilakukan penanganan khusus dengan alat yang dapat melindungi benda tersebut.
Jika artefak sudah diatas permukaan maka yang dilakukan adalah pencucian artefak dengan air laut, melakukan identifikasi dan klasifikasi temuan dengan menentukan nama artefak, pola hiasan dan ukurannya (tinggi, panjang dan diameter), labelling temuan, membungkus temuan dengan serat kain dan perendaman dengan air laut.
Kenapa harus direndam dalam air laut lagi benda temuan sudah cukup lama menyatu dengan lingkungannya tapi ketika dipindah ke lingkungan yang baru maka keseimbangan akan goyah.
"Benda itu harus direndam dulu di air laut jadi bukan langsung dicuci air tawar," kata Gatot.
Menurut Gatot, ada teori yang menyebut bahwa pada waktu pengangkatan benda temuan yang bersuhu dingin akan berkembang menjadi lembab kemudian kehadiran udara panas yang menyebabkan kelembaban menjadi kurang. Perubahan udara tersebut dapat membuat benda rapuh.
"Oleh karena itu benda temuan dikeringkan secara perlahan dengan cara benda tersebut tetap direndam di dalam air laut secara berangsur-angsur benda tersebut diencerkan air tawar untuk menghilangkan kadar garam," kata Gatot.
Setelah yakin kadar garam tidak ada, benda tersebut dibungkus dengan kain basah untuk jangka waktu tertentu agar proses adaptasinya dengan lingkungan baru dilakukan secara bertahap sehingga kestabilan benda dijaga dengan baik.
"Sesampai di gudang penyimpanan, harta tersebut tetap dirawat bagi benda yang rawan pecah ada penanganan khusus seperti ada alat penyesuaian temperatur," katanya.
(Sumber asli: www.antaranews.com)
Blogger Djawa Tempo Doeloe ke Surabaya
SURABAYA, KOMPAS.com — Para penggila eksotika Jawa tempo dulu tentu tidak asing dengan blog Djawatempodoeloe. Sebagian isi dari blog yang memuat gambar ratusan prangko kota-kota di tanah Jawa ini bakal dibukukan.
Sang pemilik blog, biasa disebut blogger, menyebut namanya Priyambodo Prayitno. Foto profilnya bergambar pemuda Jawa yang jadul banget. Tempat tinggalnya ditulis Surabaya. Pembaca semakin yakin Mas Pri–begitu biasa disapa–adalah orang Surabaya tulen karena begitu fasih menulis dalam bahasa Indonesia ketika menggambarkan cerita foto-foto lawas yang kebanyakan dijepret sebelum 1900.
Tidak hanya tentang Surabaya, tetapi nyaris semua kota di Jawa, mulai dari Bandung, Bogor, Batavia, Semarang, Yogyakarta, Blitar, Jember, sampai Banyuwangi. Mas Pri tidak sekadar kolektor yang menampilkan foto prangko lawas, tetapi juga menyuguhkan foto saat ini dengan yang angle sama pula.
Salah satu yang membuat banyak orang kagum adalah ketika Mas Pri menjepret persimpangan depan Apotek Simpang, Surabaya, sekarang. Ini melengkapi imajinasi orang terhadap kejadian pada 1890 di kawasan yang sama. Saat itu, foto Apotek Simpang belum seperti sekarang. Jalan masih tanah. Di tengah persimpangan ada gardu telepon raksasa. Setiap orang bertanya-tanya, bagaimana Mas Pri tahu sementara tidak ada penanda yang sama.
Di blog ini ditemukan ratusan foto prangko. Dia begitu detail menggambarkan isi foto, termasuk latar belakang cerita. Semuanya juga ditempeli foto pembanding masa kini. Setiap Mas Pri menerbitkan gambar baru, komentarnya berderet-deret.
Namun, hingga empat tahun blog itu berjalan, sosok Mas Pri bagi sebagian orang tidak ada yang tahu. Ada yang yakin Mas Pri adalah seorang tua berdarah Surabaya yang lama tinggal di Belanda. Namun, harian Surya pernah menemui Mas Pri di apartemennya, Kota Delft, Belanda, November 2009.
Kini, Mas Pri sedang di Indonesia, pergi ke Surabaya. Mas Pri yang nama aslinya Olivier Johannes itu belum genap 40 tahun. Dia berdarah campuran Belanda dan Perancis. Sehari-hari dia hanya seorang karyawan toko buku di Den Haag.
"Sudah empat tahun saya mengoleksi prangko dari Jawa," kata lelaki yang fasih berbahasa Indonesia ini. Hampir setiap tahun dia datang ke Indonesia. Ia datang hanya untuk mencari lokasi foto dalam prangko lawas miliknya itu dijepret.
Dia memiliki ribuan prangko lawas dan 400 di antaranya bergambar Surabaya. Dia meneliti
terus-menerus cerita setiap foto itu, mulai mengoleksi peta Surabaya dari tahun ke tahun sejak 1800, membaca buku buku lawas, hingga teknik wawancara. Kedatangannya ke Surabaya kali ini adalah untuk merampungkan proyek bukunya, ya tetap tentang prangko bergambarnya itu.
Di Surabaya, Olivier menginap di Hotel Pavilijoen, Jalan Genteng Besar. Hotel tua tetapi murah itu dikelola peranakan Tionghoa dari Jawa Tengah. Ia juga menjadi langganan menginap Indonesianis beken, Benedict Anderson dari Amerika Serikat.
Setiap hari, Mas Pri blusukan keluar masuk kampung dan makan makanan rakyat. Di situlah dia kenal banyak orang. Bahkan, di Kampung Bubutan, yang penuh bangunan lawas, Olivier akrab dengan beberapa penghuni.
Dia sering menjadi pemandu untuk temannya yang melancong ke Surabaya. "Semua kampung lawas sudah saya datangi," katanya. Dia sedih ketika melihat beberapa rumah yang kerap dikunjungi dibongkar pemiliknya untuk ruko atau direnovasi dengan model baru.
Olivier juga kesengsem sate kambing plus kare yang dijual pedagang kaki lima di pojokan Jalan Simpang Dukuh. Hampir setiap ke Surabaya dia selalu mampir. Namun, kali ini dia begitu kehilangan sebab warung itu sudah tidak jualan lagi. "Rasa satenya pas di lidah, di mana ya sekarang?" tanyanya. (Kuncarsono Prasetyo)
(Sumber asli: Kompas.com)Mengapa Guru Perlu Membuat Blog
Informasi itu tak saya dapatkan dari situs web resmi F1. Bukan pula dari situs web para pecandu mobil balap. Saya justru memperoleh pengetahuan tentang sayap terbalik mobil F1 itu dari blog Fisikane milik Iksan Taufik Hidayanto, pengajar dan Kepala Laboratorium Fisika MAN 1 Purwokerto, Jawa Tengah.
Iksan tentu bukan satu-satunya guru yang memiliki blog. Saya tak tahu jumlah pastinya, tapi bila saya ketik kata “blog guru” di Google, akan keluar beberapa pengumpul blog guru, seperti Blog Guru, Guru Indonesia, Indonesia Teacher Community, dan Aksi Guru. Mereka adalah Ki Hajar Dewantara di era web 2.0. Orang-orang yang mendidik para siswa melalui blog. Teladan untuk pengingat Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2Mei.
Mengapa banyak guru membuat blog? Sawali Tuhusetya, guru, menulis di jurnal pribadinya bahwa blog adalah salah satu media meningkatkan kualitas diri seorang pendidik. Seorang guru adalah agen pembelajar yang harus memiliki empat jenis kompetensi: pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Melalui blog, Sawali menulis, guru akan terangsang meningkatkan kualitas diri dengan membuat aneka jenis tulisan yang bermanfaat bagi kepentingan dunia pembelajaran di sekolah. Dengan cara demikian, secara tidak langsung, blog bisa menjadi sebuah media penyaluran yang mencerahkan dunia pembelajaran di sekolah. Kekuatan “tautan” antarweb dan blog dalam dunia Internet menyediakan bunga rampai pengetahuan yang (nyaris) tak terbatas bagi seorang guru.
Lewat blog, menurut Sawali, guru juga akan mudah melakukan ekspresi diri. Temuan-temuan praktis dari dunia pembelajaran bisa diangkat dan menjadi sebuah wacana yang menarik dalam sebuah blog sehingga bisa memancing siapa pun yang memiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan untuk berkomentar atau berdiskusi. Bukankah ini sebuah “kekuatan” yang hampir tidak dimiliki oleh media mana pun?
Jangan lupa, guru adalah profesi yang dituntut untuk selalu berbagi. Mereka berbagi pelajaran, ilmu, gagasan, dan sebagainya kepada anak didik–setiap hari. Ibarat sumur, seorang guru tak akan pernah kekeringan bahan untuk dibagikan.
Akan lebih baik bila pelajaran dari seorang guru tidak hanya diterima oleh murid-muridnya di kelas, tapi juga anak-anak lain di mana pun mereka berada. Semakin banyak anak, semakin baik. Kalau bisa, bahkan bukan hanya murid yang memperoleh pelajaran itu, tapi juga semua orang.
Cara menyebarluaskan ilmu adalah melalui blog dan media sosial lainnya, seperti Facebook dan Twitter. Blog adalah jaringan terbuka yang bisa diakses di mana saja. Hanya dibutuhkan seperangkat komputer dan akses ke Internet. Lewat blog, pembaca sebuah tulisan tak terbatas. Blog membuat ruangan kelas bagaikan tanpa sekat.
Blog adalah media yang membebaskan. Di blog, seorang guru matematika, misalnya, boleh saja menulis tentang masalah etiket. Guru bahasa pun dipersilakan membahas masalah di luar bidang ajarnya, contohnya filsafat olahraga. Seorang guru fisika bahkan tak dilarang berbagi teknik fotografi yang menjadi hobinya di luar sekolah. Pendeknya, blog bisa membuat guru menjadi dan berbagi apa saja.
Blog justru akan memancing guru berkreasi semaksimal mungkin. Dengan teknologi yang melekat padanya, blog memungkinkan guru menambahkan gambar, suara, atau video sebagai pelengkap bahan ajar. Materi pelajaran niscaya akan semakin menarik dan memicu kreativitas anak didik.
(Sumber asli: Blog.tempointeraktif.com)
Panduan label dan halaman
Oleh karena itu, sekurang-kurangnya perlu ada satu label yang wajib terdapat dalam tiap-tiap artikel.
- Esai
- Warisan Budaya
- Humaniora
- Seni & Budaya
- Alam & Lingkungan
Esai | Warisan Budaya | Humaniora | Seni & Budaya | Alam & Lingkungan |
---|---|---|---|---|
Editorial | Masyarakat Tradisi | Evolusi & Manusia Purba | Pameran & Festival | Cagar Alam |
Wacana & Inovasi | Situs & Artefak | Prasejarah | Buku & Film | Flora |
Titir | BMKT | Sejarah | Jejaring & Komunitas | Fauna |
Wisata & Jalan-jalan | Busana Tradisi | Nilai & Filosofi | Figur | |
Senjata Tradisi | ||||
Cerita Tradisi | ||||
Aksara & Prasasti |
Apabila Anda kesulitan memberikan label, kosongkan saja, kawan lain akan mengurusi.
Orang Karawang Gaul Sejak Dahulu Kala
KARAWANG, KOMPAS.com--Menurut Robi, 65, si pemburu harta "bekal kubur" dari Desa Cikuntul, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, , dirinya pernah menemukan beraneka barang dan perhiasan yang tak jauh dari kerangka manusia yang ditemukannya. Di antaranya kalung berbagai bentuk dan bahan, penutup bibir, penutup kemaluan wanita, penutup mata, tembikar, serta perhiasan lain yang menurutnya bagus-bagus corak dan modelnya.
Merujuk pada penuturan Robi, ada dua hal yang bisa diungkap. Masyarakat setempat pada zaman protisejarah (awal sejarah) sekira 2-4 M, sudah cukup modis (baca: gaul), dan juga telah bergaul dengan bangsa lain melalui bukti temuan tembikar yang bercorak Vietnam dan India.
Belum lagi jika "hipotesa" Robi benar bahwa dirinya menemukan tulang aneka warna (kuning, merah, putih, coklat dan hitam) yang menurutnya menandakan golongan (ras), maka boleh jadi Karawang adalah sebuah wilayah yang telah ramai dikunjungi oleh beraneka bangsa.
Hal ini dikuatkan dengan adanya informasi bahwa di daerah Kecamatan Tempuran, Kecamatan Cilebar, banyak ditemukan bekal kubur yang bercirikan adanya tembikar buni yang meluas di pantai Karawang, seperti manik-manik berbahan emas, batu cornelian dan kaca. "Dari manik-manik kaca kita tahu itu produksi luar Indonesia, tepatnya Indo Pasifik. Dari situ mulailah kita menggali di Kecamatan Tempuran, tepatnya di desa Cikuntul. Di sana kita temukan yang tahun lalu itu ada lima individu yang membawa bekal kubur berupa tembikar dengan ciri buni dan tembikar dari vietnam daerah Oc Eo, tembikar India daerah Arikamidu. Dari situ kita dapat melihat, masyarakat pada masa itu sudah memiliki hubungan dengan dunia luar, atau disebut sebagai zaman protosejarah (awal sejarah), " ujar Aemlia dari Puslitbang Arkenas kepada Kompas.com, Kamis (6/5).
Lebih lanjut Amelia menerangkan, protosejarah adalah sebuah zaman di mana masyarakat kala itu belum bisa baca dan tulis namun telah dikenal oleh bangsa lain.
Powered by ScribeFire.
Ada DNA Neanderthal di Tubuh Kita
Washington (ANTARA News) - Manusia Neanderthal dan manusia modern ternyata pernah kawin, kemungkinan besar terjadi ketika manusia pertama kali bermigrasi keluar dari Afrika, demikian sebuah studi genetika yang dirilis Jumat pagi WIB.
Orang Eropa, Asia dan Australasia semuanya memiliki DNA Neantherthal, tetapi orang Afrika tidak, kata para peneliti yang menyampaikan hasil penelitiannya dalam jurnal Science.
Hasil penelitian ini mungkin membantu menjawab perdebatan lama mengenai apakah manusia Neanderthal dan manusia modern hanya hidup berdampingan di Eropa dan Timur Tengah.
"Mereka yang tinggal di luar Afrika membawa sedikit DNA Neanderthal ke tubuh kita," kata Svante Paabo dari Institut Max Planck di Munich, Jerman, yang mengepalai penelitian itu.
"Proporsi material genetik asal Neanderthal kira-kira 1 sampai 4 persen. Memang kecil, tetapi itu proporsi yang benar-benar ada di nenek mooyang orang-orang non Afrika," kata Dr. David Reich dari Fakultas Kedokteran Universitas Harvard di Boston, yang menjadi anggota penelitian itu, kepada wartawan dalam briefing telepon.
Paabo mengaku tidak bisa mengidentifikasi kesamaan prilaku manusia Neanderthal dengan manusia modern sekarang. "Sejauh yang bisa kami katakan bukti-bukti ini hanya bagian acak dari DNA," katanya.
Para peneliti menggunakan metode modern yang disebut peruntutan seluruh genom untuk menguji DNA dari tulang-tulang Neanderthal yang ditemukan di Kroasia, Rusia, Jerman dan Spanyol, termasuk tulang-tulang patah dari seorang manusia gua di Kroasia yang disebut para peneliti sebagai bukti kanibalisme.
Para ilmuwan mengembangkan metode baru untuk mengumpulkan, membedakan dan merunutkan DNA manusia Neanderthal.
"Pada tulang-tulang itu yang usianya 30.000 sampai 40.000 tahun ada bukti teramat kecil DNA," kata Paabo. Dia menyatakan 97 persen atau lebih DNA yang diekstraksi berasal dari bakteri dan jamur.
Mereka kemudian membandingkannya dengan gen manusia Neanderthal dengan DNA lima orang Eropa, Asia, Papua Nugini dan Afrika.
"Analisis mereka membuktikan kekuatan perbandingan genom dan membawa pandangan baru mengenai pemahaman kita tentang evolusi manusia," kata Dr. Eric Green, Direktur Institut Riset Nasional Genom Manusia pada Institut Kesehatan Nasional.
Hasil penelitian mengimbuhkan bukti satu gambaran baru mengenai manusia modern yang hidup berdampingan atau berinteraksi pada tingkat yang paling intim dengan jenis manusia serupa yang kini sudah punah.
"Itu jelas sebuah petunjuk mengenai apa yang secara sosial terjadi manakala manusia Neanderthal bertemu dengan manusia modern," kata Paabo.
"Ada perkawinan pada tingkat tertentu. Saya memilih mewariskan pertanyaan ini kepada mereka yang ingin menjawabnya apakah kita ini spesies terpisah atau tidak. Secara genetis mereka (Neanderhtal) tidak jauh berbeda dari kita," tambahnya.
Perunutan DNA menjejak kembali masa sekitar 80.000 tahun lalu, manakala manusia modern pindah ke Timur Tengah dari Afrika, akan membuatnya sampai di kawasan selatan yang banyak dihuni manusia Neanderthal.
Para peneliti mengidentifikasi lima gen unik pada manusia Neanderthal, termasuk tiga gen kulit. "Bukti ini menujukkan bahwa sesuatu dalam fisiologi atau morfologi kulit manusia telah berubah," kata Paabo.
Bulan Maret lalu Paabo dan koleganya melaporkan bahwa mereka menemukan spesies manusia yang tidak dikenal yang kemungkinan hidup 30.000 tahun lalu, di samping manusia modern dan manusia Neanderthal di Siberia.
Selama bertahun-tahun para peneliti berspekulasi mengenai beberapa perbedaan dalam spesies manusia yang tinggal berdampingan di masa awal jutaaan tahun lalu. Banyak diantaranya hidup di kawasan tropis di mana sisa tulang tidak terpelihara.
Paabo mengatakan manusia Afrika modern mungkin membawa sejumlah DNA tak dikenal, andai mereka tidak membawa DNA nenek moyang manusia Neanderthal.
LELANG HARTA KARUN. Sistem Lelang di Indonesia Tidak Fair
JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Direktur PT Paradigma Putra Sejahtera, Adi Agung Tirtamarta mengatakan, sistem lelang di Indonesia tidak fair. Adi mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1985 tentang Izin Survei dan Pengangkatan barang-barang muatan kapal tenggelam. Keppres tersebut mengatur, dari hasil lelang, investor-pemerintah mendapat masing-masing 50 persen.
"Seharusnya, sistem bagi hasil dilakukan setelah hasil lelang dikurangi biaya pengangkutan," ujar Adi kepada para wartawan di Pamulang, Jawa Barat, Selasa (4/5/2010). Paradigma Putra Sejahtera merupakan mitra lokal perusahaan penyelaman milik Luc Heymans, Cosmix Underwater Research Ltd. Mereka bekerja sama mengangkat barang-barang yang berada di kapal karam di perairan utara Cirebon, Jawa Barat.
Selain itu, dirinya juga menganggap syarat penyerahan uang jaminan penawaran lelang sebesar 20 persen dari nilai lelang berlebihan. Syarat yang ditetapkan Menteri Keuangan ini dinilai memberatkan calon peserta lelang. "Di tingkat internasional, tidak ada syarat seperti itu. Balai Lelang Christy, misalnya, tidak pernah meminta uang jaminan lelang," katanya.
Sebenarnya, penetapan syarat ini juga berlaku untuk pelelangan barang sitaan, gedung, dan lainnya. Namun, Adi berharap para pelelang benda seni memeroleh pengecualian.
Hal yang sama disampaikan Sekjen Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam Sudirman Saad kepada Kompas.com. "Kami sudah meminta agar syarat uang jaminan dikurangi. Bahkan, jika memungkinkan, uang jaminan diganti surat garansi. Namun, syarat ini sepertinya ditolak," ujar Saad.
Lelang harta karun untuk pertama kalinya yang rencananya digelar Rabu (5/5/2010) besok terancam gagal. Sampai berita ini dilaporkan, belum ada satu pun calon peminat yang menyetorkan uang jaminan.
Istri Fadel Tinjau Gudang Harta Karun
JAKARTA, KOMPAS.com — Istri Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Hana Hasanah, Selasa (4/5/2010) sore, meninjau gudang penyimpanan harta karun yang ditemukan di perairan utara Cirebon, Jawa Barat, di area Pacuan Kuda Pamulang.
Begitu tiba di lokasi, Hana yang didampingi pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan langsung disambut oleh Presiden Direktur PT Paradigma Putra Sejahtera Adi Agung Tirtamarta dan pemilik Cosmix Underwater Research Ltd Luc Heymans.
Hana pun langsung dipersilakan masuk ke dalam gudang. Adi menunjukkan koleksi barang berharga asal muatan kapal tenggelam (BMKT) yang ditemukan dari sebuah kapal karam.
Benda tersebut antara lain sarung golok emas dan rock crystal yang diyakini milik anggota keluarga Nabi Muhammad. Hana tampak antusias dan serius menyimak penjelasan Adi dan Luc.
Hana juga menyempatkan diri berfoto dengan sebuah guci yang ditunjukkan oleh Luc. Di gudang tersebut, Hana meninjau selama lebih dari 30 menit. Setelah itu, Hana pun langsung pergi meninggalkan gudang tersebut.
Tiada Henti Menebar Edukasi di Merapi
Gedung itu sebelumnya menjadi bagian dari kompleks sekolah kecil bernama Sekolah Dasar Kanisus Grogol, terletak di Desa Mangunsuko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sekitar delapan kilometer sebelah barat puncak Gunung Merapi.
Sekitar 13 tahun lalu pihak yayasan yang menaungi sekolah itu mengeluarkan kebijakan menutup operasional sejumlah sekolahnya yang salah satunya SD Kanisus Grogol lantaran jumlah siswa yang semakin sedikit seiring dengan perkembangan kependudukan.
"Tahun 1997 sekolah ini ditutup oleh yayasan, tidak tahu persis alasan penutupan, tetapi secara umum karena jumlah anak yang semakin sedikit, terakhir kalau tidak salah ada 65 anak kelas I hingga VI," kata Supangat (70), mantan Kepala SD Kanisius Grogol (1982-1992) di utara aliran Kali Senowo yang airnya berhulu di kaki Merapi.
Meski akhir cerita sekolah itu ditutup, rupanya semangat edukasi yang telah ditebarkan melalui kegiatan pembelajaran di sekolah itu tak padam. Masyarakat setempat makin memiliki kesadaran mantap terhadap pentingnya pendidikan.
Mereka terkesan terus bergerak menebarkan nilai-nilai edukasi dalam skala yang makin luas, tidak sekadar pendidikan formal untuk anak-anak Merapi.
Pada Minggu (2/5), Supangat bersama ratusan warga petani holtikultura berasal dari berbagai dusun di lereng Merapi merayakan Hari Pendidikan Nasional 2010.
Perayaan itu sekaligus dikemas untuk pesta rohani pelindung GSPi "Santo Petrus Kanisius", tokoh gereja yang secara khusus bergerak di bidang pendidikan. Perayaan dikemas dalam prosesi anak-anak dan misa kudus dipimpin Romo Singgih Guritno di bangunan terbuka, GSPi.
Bekas ruang kelas masih tersisa, komunitas petani setempat melalui bantuan dari berbagai pihak baik di dalam maupun luar negeri secara tekun membangun gedung yang terkesan akrab dengan ekologi Merapi yang kemudian mereka namai GSPi. Gedung itu kini menjadi pusat kegiatan budaya, spiritualitas, religi, dan sosial kemasyarakatan.
Seakan lelaki itu mengenang para murid dan suasana pendidikan ketika sekolah yang berada di tepi jalan menuju Pos Pengamatan Merapi di Desa Babadan, sekitar empat kilometer sebelah barat puncak Merapi itu, masih beroperasi.
"Bahkan tiga anak saya dulu juga sekolah di sini, kepala sekolah yang terakhir Pak Warso (Suwarso, red.), saya Tahun 1992 dipindah menjadi Kepala SD Kanisus Tangkil, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun hingga pensiun Desember 2001," katanya.
Sekolah yang dibuka pada Tahun 1927 itu pernah menjadi tumpuan masyarakat petani setempat antara lain berasal dari Dusun Kajangkoso, Grogol, Bendo, Mangunsuko, Muntuk, Dadapan, dan Semen untuk anak-anak mereka mengenyam pendidikan formal.
Setelah ditutup, katanya, orang tua setempat menyekolahkan anak-anak di SD Negeri Mangunsuko sekitar 200 meter dari lokasi GSPi sedangkan lainnya menyekolahkan di SD Kanisius Tumpang, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, sekitar 10 kilometer dari GSPi.
Meski sekolah itu tutup, komunitas petani setempat tidak menutup buku terhadap proses pembelajaran. Mereka di bawah pendampingan intensif budayawan dan rohaniwan Katolik setempat, Romo Vincentius Kirjito, terus mengembangkan misi pendidikan GSPi.
Sejak beberapa tahun terakhir, GSPi mengembangkan program "live in" terutama untuk anak-anak SLTP hingga perguruan tinggi yang ingin belajar tentang kehidupan desa, pertanian, ekologi, dan komunitas petani Merapi.
Jumlah mereka yang pernah menjalani "live in" di kawasan itu kemungkinan sudah mencapai puluhan ribu anak. Mereka berasal dari berbagai sekolah di kota-kota besar di Pulau Jawa.
Bahkan secara berkala sejumlah sekolah seperti di Yogyakarta, Jakarta, Semarang, dan Magelang mengirim murid-muridnya untuk "live in" minimal selama tiga hari tiga malam di tempat itu. Mereka tinggal di rumah-rumah warga setempat dan menjalani berbagai kegiatan harian para petani baik di rumah maupun di lahan pertanian, sambil menjalani proses edukasi ekologi yang dikembangkan komunitas GSPi.
"Saat ini saja ada enam mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang sedang survei untuk `live in` kawan-kawan mereka," kata tokoh GSPi, Fransiskus Xaverius Sutar.
Minimal sebulan sekali, katanya, ada rombongan "live in" baik siswa maupun mahasiswa berasal dari berbagai sekolah dan perguruan tinggi. Beberapa bulan lalu beberapa mahasiswa berasal dari sejumlah negara juga "live in" di tempat itu.
Program "live in" bukan saja proses penebaran nilai-nilai edukasi kepada anak-anak kota tetapi juga menjadi ajang pembelajaran dan peningkatan sumber daya manusia petani Merapi.
"Kalau sering didatangi tamu tentu kami juga harus menata diri, belajar menjadi tuan rumah yang baik, belajar lebih giat tentang sopan santun, semakin baik dalam merawat rumah dan pertanian agar bisa menjadi bahan belajar mereka secara pantas, dan kalau kami rawat lebih tekun, hasil pertanian menjadi lebih baik. Kami sendiri juga ikut belajar," katanya.
Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional 2010, komunitas petani setempat mencanangkan gerakan yang mereka namai "Tabungan Pendidikan Keluarga Petani" sebagai wujud kesadaran masyarakat Merapi terhadap pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka.
"Masyarakat kami semakin menyadari bahwa pendidikan semakin mahal," kata Sutar yang lulus SD Kanisius Grogol pada Tahun 1980 itu dan kemudian melanjutkan pendidikan formal hingga SMA.
Pencanangan gerakan itu ditandai dengan perarakan puluhan anak Merapi mengenakan pakaian jatilan kontemporer diiringi gamelan dari halaman rumah petani di ujung dusun itu menuju Gedung GSPi yang berjarak sekitar 500 meter.
Anak-anak itu membawa puluhan bumbung berbagai ukuran dicat warna merah sebagai tempat celengan. Bumbung diserahkan mereka kepada Romo Singgih sebagai simbol penyerahan gagasan orisinil anak-anak tentang gerakan menabung itu kepada orang tua agar menyisihkan uang receh mereka secara tekun untuk biaya pendidikan.
Prosesi pencanangan gerakan "Tabungan Pendidikan Keluarga Petani" itu ditata oleh seniman petani setempat Susanto.
Setiap keluarga petani memasang bumbung celengan itu di rumah masing-masing. Setiap saat mereka menyimpan uang receh di bumbung dan seminggu sekali menyetorkan kepada pengelola tabungan itu di GSPi untuk selanjutnya dicatat dan disetor ke salah satu bank yang telah mereka sepakati.
"Paling cepat setahun sekali tabungan dibongkar untuk diserahkan kepada warga sebagai biaya sekolah, orang tua yang tidak punya anak juga menabung tetapi ketentuannya lima tahun sekali tabungan mereka dibongkar," kata Sutar yang juga koordinator gerakan "Tabungan Pendidikan Keluarga Petani" itu.
Petani setempat, katanya, menyebut gerakan mereka menabung itu sebagai "ngopeni receh" atau memanfaatkan uang kecil.
"Uang sisa belanja di pasar, uang receh sisa beli pupuk dan bibit tanaman, atau sisa naik angkutan dimasukkan bumbung, ditabung karena kami sadar bahwa pendidikan butuh biaya," katanya.
Romo Singgih mengapresiasi gagasan edukatif komunitas petani setempat berupa tabungan pendidikan itu.
Ia mengemukakan, bukan jumlah tabungan yang relatif banyak yang mereka kejar, tetapi ketekunan mereka mengumpulkan uang receh itu sebagai proses pendidikan bukan saja bagi para orang tua dan anak-anak setempat.
"Tapi bisa menjadi pembelajaran untuk masyarakat dalam skala yang lebih luas, bahwa pendidikan adalah proses yang terus menerus berjalan dan dijalani secara tekun. Ada kesetiaan tentang perhatian terhadap anak, sedikit demi sedikit. Ini proses dan keutamaan yang harus dirawat, kebiasaan ini dihayati sebagai wujud cinta kasih," katanya.
Mungkin saja cita-cita pendidikan oleh komunitas setempat atas anak-anak mereka tidak terlalu muluk.
Setidaknya proses pendidikan yang mereka tebar secara terus menerus di kawasan itu terutama untuk membangun kemandirian, memantapkan identitas kultural, dan jati diri sebagai petani Merapi.
Sekolah mereka memang telah tutup, tetapi pembelajaran mereka tiada berkesudahan.
BENTENG SUROSOWAN, SISA KEBESARAN NEGERI BANTEN
Seperti itulah kebiasaan mandi para putri kalangan Kesultanan Banten pada masa lampau. Pemandian tersebut berada di dalam Kompleks Keraton Surosowan yang kini berada di kawasan Banten Lama, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kab. Serang, atau sekitar 10 kilometer di utara Kota Serang. Lokasi keraton terletak di sebelah selatan Masjid Agung Banten.
Kolam Rara Denok berbentuk persegi empat dengan panjang sekitar 30 meter dan lebar 14 meter. Sementara kedalamannya mencapai 4,5 meter. Di tengah pemandian terdapat kolam yang ukurannya lebih kecil, tempat istirahat bernama bale kambang. Terlindungi oleh benteng yang tinggi dan pintu yang kokoh. Dengan demikian, para wanita akan merasa aman dan nyaman di tempat tersebut.
Namun, kini keindahan pemandian kelas VIP itu hanya menyisakan air kotor hijau. Tembok kolam bagian luarnya hanya tersisa sekitar 0,5 meter. Meski demikian, batu bata merahnya masih tampak kuat dengan kualitas bangunan yang bagus. "Rupanya kolam ini menyimpan banyak cerita tentang kecantikan putri keraton, ya," ujar Hazairin Sueb (45), seorang pengunjung asal Tasikmalaya.
Sebenarnya bukan hanya memyimpan cerita tentang para putri keraton, Rara Denok juga menjadi bagian penting dari sentuhan teknologi pengairan yang sangat maju pada zamannya. Air untuk memenuhi kebutuhan kompleks keraton dialirkan dari danau buatan bernama Tasik Ardi yang jaraknya sekitar 2,5 kilometer di sebelah selatan keraton. Danau tersebut dibuat pada masa Sultan Maulana Yusuf (1570-1580 M)
Sebelum masuk ke kompleks keraton, air yang dialirkan melalui pipa dari tanah liat itu harus melalui tiga tahap penyaringan. Bangunan tempat penyaringan itu menyerupai gerbong kereta api yang disebut pangindelan. Penyaringan pertama disebut Pangindelan Abang, kemudian Pangindelan Putih, dan terakhir Pangindelan Mas. Pembangunan saluran air tersebut dibuat pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683 M) dengan melibatkan arsitek Belanda bernama Hendrick Lucasz Cardeel.
Semua bangunan pangindelan hingga kini masih berdiri kokoh, tetapi tidak lagi berfungsi seperti dulu. Bagian dalam mengeluarkan bau tidak sedap karena dipakai sarang kelelawar. Sementara Tasik Ardi yang berluas 6,5 hektare dan dulu sering dijadikan tempat rekreasi keluarga keraton, kini menjadi salah satu tempat wisata favorit bagi warga Banten.
Dirusak dan dibakar
Ketika berniat mengunjungi Keraton Surosowan, jangan bayangkan satu keraton dengan bangunan utuh, seperti Keraton Cirebon atau Yogyakarta. Apalagi, membayangkan di dalamnya bertakhta seorang raja yang menjadi simbol budaya masyarakat setempat. Surosowan hanya puing-puing hampir rata dengan tanah yang berada dalam benteng. Luas keseluruhannya mencapai sekitar 4 hektare.
Menurut berbagai sumber bacaan, Istana Surosowan dibangun Panembahan Hasanuddin, sultan pertama Banten (1526-1570 M). Sebutan Surosowan sebagai nama keraton, berkembang menjadi nama wilayah kekuasaan. Bahkan, kemudian, nama resmi kerajaan Islam di Banten adalah Negeri Surosowan.
Pada mulanya kompleks keraton tidak semegah seperti tercermin dari reruntuhannya. Namun, pada masa Sultan Abdulfatah (Sultan Ageng Tirtayasa), dalam kaitan jalinan persahabatan internasional, sejumlah teknisi Eropa diundang. Selain dilibatkan dalam pembuatan kapal-kapal niaga, mereka juga dilibatkan dalam perbaikan kompleks Keraton Surosowan.
Istana megah itu kemudian dibuat lebih indah dan lebih tahan dari berbagai serangan. Di dalamnya dibangun pancuran dan kolam pemandian. Di sekelilingnya dibangun tembok terbuat dari bata merah yang cukup tebal. Pada sudut-sudut benteng dibangun menara penjaga (bastion). Jalan masuk ke istana, berbentuk busur, diberi dinding bata pada kedua tepinya untuk menghindari pengintaian dari luar.
Dalam sejarahnya, keraton ini mengalami beberapa kali kehancuran. Antara lain ketika terjadi peperangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan anaknya sendiri, Sultan Haji, yang bekerja sama dengan penjajah Belanda. Meski kemudian diperbaiki lagi, perlawanan dari rakyat terhadap Sultan Haji terus berlangsung dan membuat keraton rusak lagi.
Akan tetapi, kerusakan yang paling parah terjadi pada masa Sultan Aliuddin II (1803-1808). Ketika Herman Willem Daendels meminta Sultan agar mengirimkan seribu pekerja rodi untuk membangun jalur jalan Anyer-Panarukan. Selain itu, juga meminta agar Patih Mangkubumi Wargadiraja diserahkan dan ibu kota kesultanan dipindahkan ke Anyer karena di sekitar Surosowan akan dibangun benteng Belanda.
Tentu saja permintaan tersebut ditolak mentah-mentah. Terjadilah peperangan hebat yang berakhir dengan penaklukan Surosowan dan penangkapan Sultan Aliudin II lalu dibuang ke Ambon. Sementara Patih Mangkubumi Wargadiraja dihukum pancung. Perlawanan rakyat Banten tidak berhenti. Pada 1809, Daendels menghancurkan dan membakar Sorosowan. Puncak kerusakan keraton tersebut terjadi pada tahun 1813.
Benteng utuh
Memang bangunan Keraton Surosowan tidak ada lagi yang utuh. Semuanya nyaris rata dengan tanah. Namun, dengan melihat reruntuhan itu, akan terbayang semegah apa bentuk fisik istana tersebut. Beruntung, para pelancong agak terhibur dengan melihat benteng keraton yang hingga kini masih kokoh berdiri.
Meskipun benteng keraton masih kokoh, kelihatan sekali bangunan itu kesepian dan tidak terurus. Sampah bertebaran di mana-mana, di sana sini sudah ada kerusakan pada tembok benteng. Padahal, benteng ini satu-satunya peninggalan di kompleks keraton yang relatif masih utuh..
Bagi sebagian orang, beberapa bagian pada benteng itu sering dijadikan tempat untuk bersemedi. Biasanya, mereka menempati ruang-ruang kecil bekas tempat penjagaan. Mereka tidak peduli tempatnya pengap dan becek. Di beberapa ruang kecil itu masih terdapat bekas alas tidur dan sisa-sisa ritus.
Merekonstruksi bangunan keraton merupakan sesuatu yang sulit dilakukan dan membutuhkan biaya mahal. Biarlah reruntuhan itu menjadi saksi kehebatan rakyat Banten yang tidak mau tunduk kepada penjajah. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah memelihara yang masih tersisa. Maka, semestinyalah keberadaan benteng itu mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah setempat.
Blog Archive
-
►
2017
(4)
- ► 03/19 - 03/26 (4)
-
►
2013
(1)
- ► 02/10 - 02/17 (1)
-
►
2012
(2)
- ► 09/02 - 09/09 (2)
-
►
2011
(6)
- ► 10/23 - 10/30 (1)
- ► 05/22 - 05/29 (1)
- ► 05/08 - 05/15 (4)
-
▼
2010
(51)
- ► 05/16 - 05/23 (2)
-
►
05/09 - 05/16
(13)
- Prambanan harus 'abadi'
- Kontribusi Tulisan di Blog MADYA
- Mesjid Abad 18 Padang Betuah Bengkulu
- ETNOKULTURAL MELAYU DELI
- Daftar Blog
- BMKT dari Perairan Cirebon Kemungkinan Besar Akan ...
- Aksara Pallawa
- Masih tentang blog MADYA (I)
- Solo Tourism Board Perlu Ada
- Robi, Si Pemburu Bekal Kubur
- "Di balik Layar" Harta Karun The Cirebon Wreck
- Blogger Djawa Tempo Doeloe ke Surabaya
- Mengapa Guru Perlu Membuat Blog