Kamis, 23 Maret 2017

Mengaitkan Konsep Kebudayaan dan Pariwisata

Barangkali itu gagasan yang muncul, dulu, ketika sub-kementerian kebudayaan di bawah Depdikbud (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) dipindahkan ke Depparsenibud (Departemen Pariwisata, Kesenian, dan Kebudayaan). Kala itu ada banyak protes, karena khawatir akan nasib kebudayaan: mau dibawa ke mana?

Sampai sekarang masih banyak orang yang percaya bahwa kebudayaan seharusnya ada di bawah kementerian tersendiri, atau setidak-tidaknya bersama-sama di bawah satu kementerian dengan departemen kebudayaan.

Kalau kita baca referensi di Wikipedia, di mana-mana ada kecenderungan untuk memisahkan Kementerian Kebudayaan sebagai sebuah departemen tersendiri dalam pemerintahan (misalnya India, China, Mesir, Prancis, dll), atau setidak-tidaknya mengaitkannya dengan seni, pendidikan, 'heritage', 'science', 'technology', bahkan dengan Islam (Iran) dan gereja (Norwegia). Hanya ada sedikit negara yang mengaitkan antara kebudayaan dengan pariwisata dalam kementerian yang sama, yakni Korea Selatan, Ethiopia, dan baru-baru ini negara bagian Ontario di Kanada.

Rupanya ada kesadaran universal (kecuali di Indonesia, Korea Selatan, Ethiopia dan Ontario) bahwa kebudayaan merupakan sebuah aspek yang penting dalam sebuah negara, sehingga perlu dikoordinasi di bawah kementerian tersendiri --atau setidak-tidaknya disatukan di bawah kementerian yang juga menangani urusan pendidikan karakter.

Contoh yang lebih tegas dari Kerajaan Inggris Raya, di mana kebudayaan dijadikan satu dalam kementerian (secretary) yang berurusan dengan pembangunan karakter bangsa, di bawah Department of Culture, Media and Sport.

Kembali ke Indonesia.

Meskipun kata 'kebudayaan' digeser lebih ke depan dalam penulisan nama Depbudpar (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata), bukan berarti bahwa kebudayaan kini mendapat posisi yang lebih baik dalam administrasi kenegaraan RI.

Untuk menyebut bukti kelemahan sistem administrasi negara RI di bidang perlindungan budaya, rasanya cukup mudah: penghancuran terhadap berbagai bangunan kuno dan bersejarah mulai dari Trowulan hingga Pangkal Pinang; upaya penggusuran terhadap komunitas tradisi, mulai dari Sikep hingga Cina Benteng; pelelangan BMKT Cirebon, dsb. Semua ini memperlihatkan keabaian yang serius dalam diri para pemegang keputusan, yakni dari menteri terkait hingga para kepala daerah.

Rupanya konsep 'kebudayaan' hanya dipahami secara mentah-mentah dalam arti pengaya bagi kepariwisataan, dan konsep 'pariwisata' hanya dipahami secara mentah-mentah dalam arti sebagai pengaya bagi kocek kementerian ...

Sementara itu, masyarakat kita tampaknya mengalami banyak kemunduran karena hilangnya pendidikan kebudayaan dalam berbagai aspek, termasuk dalam dunia pendidikan itu sendiri.
blog comments powered by Disqus
Related Posts with Thumbnails
^ Kembali ke atas