Senin, 09 Agustus 2010

In Memoriam: Rasinah


Rasinah adalah penari Topeng Indramayu ternama. Namanya pun sudah dimasukkan dalan kategori maestro. Karena, nenek berusia 80 tahun itu telah memperlihatkan dedikasi yang begitu tinggi terhadap tari Topeng.


Ia bukan hanya menari dengan rupa topeng-topeng yang selalu berganti di wajahnya. Tapi, ia juga menyebarkan inspirasi bagi orang lain untuk mencintai tari Topeng Indramayu.


Rasinah lahir di Desa Pekandangan, Indramayu, Jawa Barat. Kedua orangtuanya juga seniman. Karena itu, darah seni pun mengucur deras di dalam nadinya. Sejak kecil ia telah diajari menari lengkap dengan aturan-aturan “mistis”nya. Bahkan, ia pun telah “diamenkan” di panggung-panggung hajatan (bebarang), untuk menegaskan suratan hidupnya yang seniman.


Masa kanak-kanak dan remaja Rasinah hanyalah tarian. Gejolak hidup Rasinah muda hanyalah panggung-panggung hajatan, lengkap dengan suara tetabuhannya. Sehingga, di luar tari Topeng Indramayu, sungguh ia bukanlah apa-apa. Ia adalah cerminan “anak wayang” yang sepanjang hidupnya lebih diberikan untuk panggung dan penonton. Ia sama sekali tidak mengenal hal lain di luar dunia itu. Misal, dunia sekolah atau menikmati keceriaan seperti kaum remaja sebayanya.


Keteguhan Rasinah untuk terus konsisten di jalurnya bukan tidak dihadang masalah. Pergeseran selera masyarakat dari kesenian tradisional ke kesenian yang lebih modern membuat Rasinah —dan seniman tradisional pada umumnya— terkena imbas besar. Mereka kehilangan panggung-panggung hajatan, lahan untuk mengekspresikan kesenimanannya, dan tentu saja, nafkah!


Masa-masa sulit seperti itu dirasakan benar oleh Rasinah. Terlebih setelah ayah dan ibunya meninggal. Ia memang anak tunggal. Sehingga, ia harus menggantungkan hidupnya pada sang suami. Ia nyaris tidak memiliki kesempatan untuk menari. Lantaran tidak ada lagi yang mengundangnya.


Dan dalam kesendirian dan keterasingan, ia hanya memasrahkan hidupnya pada Yang Mahamandiri. Ia tidak berani lagi menghitung-hitung suratan nasib di depannya. Karena, ia sadar bahwa ia hanyalah seniman tradisional, dengan segala keterbatasannya. Untuk beralih pada sumber penghidupan yang lain, ia juga merasa tidak bisa. Sehingga, ia pun hanya bisa menari di rumahnya.


Kerap, ia menari ditemani cucunya, Aerli. Dan, dengan sisa gendang, saron, dan gong, warisan dari ayahnya, ia juga coba ajarkan pada cucunya yang lain, Edi. Saat itu, ia memang tengah mencoba menitiskan bakat berkeseniannya kepada kedua cucunya. Cara itu ditempuh oleh Rasinah, agar ia tetap memiliki semangat untuk menari.


Tari Topeng Indramayu adalah satu-satunya harta karun yang dimilikinya. Sehingga, hanya dengan “benda” itulah ia bisa mewariskannya kepada keturunannya. Di benaknya hanya terlintas satu niat, agar hidup yang pahit itu bisa dijalani dengan keceriaan sambil membagi-bagikannya kepada orang terdekat.


Bangunan semangat untuk bertahan dan berbagi, serta kepasrahan untuk menyerahkan segala-galanya kepada Dzat Yang Mahasempurna, akhirnya berbuah kebahagiaan. Ketabahan dan kegigihan untuk terus berkesenian secara bersahaja membuahkan perhatian pihak lain.


Minat kalangan pemerhati kesenian itu yang bertekad merevitalisasi kesenian tari Topeng Indramayu menebarkan manisnya juga untuk Rasinah. Ia pun diminta untuk menari di berbagai tempat. Bukan sekadar panggung-panggung hajatan di kampung-kampung. Tapi, termasuk juga pentas-pentas di gedung-gedung kesenian di kota besar, di dalam dan luar negeri. Luar biasa!


Saat itu, ia hanya berkeyakinan bahwa pihak-pihak yang tiba-tiba peduli kepada dirinya dan tari Topeng Indramayunya adalah tangan-tangan Tuhan. Ya, cerminan sifat Rahman dan RahimNya. Gerbang kemuliaan memang tengah membuka di hadapannya.


Gubuk yang tadinya nyaris runtuh karena tidak pernah mendapat perhatian, perlahan-lahan ia bangun kembali. Bahkan, ia pun berhasil membangun sanggar sederhana di pinggaran rumahnya. Teman berlatihnya pun bukan hanya Aerli, cucunya. Tapi, anak-anak lain pun berdatangan untuk meminta “harta karun” yang dimilikinya. Seiring dengan itu, panggilan-panggilan untuk menari pun tidak pernah lagi berhenti.


Maka, Rasinah yang oleh murid-muridnya dipanggil Mimi (nenek) telah mendapati kegemilangan nan tiada tara di hari tuanya. Ia bisa tersenyum bahagia saat meyakini bahwa keteguhannya mendalami tari Topeng Indramayu membuahkan panen besar. Ia bisa tertawa gembira saat mensyukuri bahwa kesungguhannya mengawal kesenian tradisional itu memberikan manfaat tak terhingga. Sehingga, ia pun bisa melupakan kepahitan dan rintangan yang selama menempa perjalanan berkesenianannya dan kehidupan nyatanya.


Hingga akhir t2007, ia masih menari bersama murid-muridnya, menari di panggung-panggung hajatan, sambil sesekali turun ke panggung untuk mengharapkan saweran. Ia terus menari dengan suasana keceriaan. Bahkan, ia juga bertekad untuk mati di atas panggung.


Tekad itu dibuktikan, ketika penyakit stroke menghajarnya di awal 2008, ia tetap saja mengajarkan tarian itu di sanggarnya. Meskipun, saat itu hanya menggunakan isyarat tangan dan mata sebagai cara memberikan pengarahan kepada murid-muridnya.


Istiqomah Rasinah untuk terus menekuni tari Topeng Indramayu, memang berbuah kemuliaan pula pada perjalanan hidupnya. Ia dihargai dan dimuliakan oleh orang lain, karena kesungguhan untuk terus bersabar dan bersyukur atas apa-apa yang didapatnya, seraya memasrahkan semuanya kepada Yang Mahamengatur.


Ahad jelang Ramadhan kemarin, ia harus mengakhiri seluruh pentas kehidupannya. Usia renta dan kerapuhan tubuh memang tidak mampu lagi menopang semangat jiwanya yang senantiasa menggelora. Hal itu dibuktikan dengan penampian pamungkasnya beberapa pekan lalu di sebuah acara di Jakarta.


Rasinah memang tidak wafat di atas pentas —seperti keinginannya semasa hidup. Ia terbaring kaku di kamar kecilnya di Desa Pekadangan, Indramayu, Jawa Barat. Beberapa saat berikutnya, ia beristirahat tenang bersama suami, orangtua, dan buyut-buyutnya yang seniman Topeng Indamayu, di Pemakaman Seniman di desa itu.


Catatan kecil yang tak pernah terhapuskan, saya pernah memintanya menarikan Tari Panji di tempat itu enam tahun silam. Dengan sentuhan artistik lokasi dan kharismanya, tarian itu masih membekas dan menyimpan kekuatan magisnya di mata saya. Selamat jalan, Mimi….[]

blog comments powered by Disqus
Related Posts with Thumbnails
^ Kembali ke atas