Sabtu, 08 Mei 2010

Nasib Warisan Budaya di Tangan Siapa?


Penentuan nasib warisan budaya bukan saja merupakan tanggung jawab pemerintah, melainkan setiap warga negara (idealnya) juga berhak menentukan nasib sebuah warisan budaya. Bagaimana Anda, sebagai warga negara, bisa berpartisipasi dalam hal pelestarian warisan budaya?

Beberapa orang di kalangan pergerakan mempunyai bahasa yang terdengar rada menyeramkan, namun mau tak mau kita mengakui bahwa memang tak ada ungkapan lain yang lebih singkat, yang memuat seluruh nuansa yang ada dalam kata ini: KITA REBUT!

Rasa-rasanya, ada aroma kekerasan untuk menggunakan kata ini dalam konteks: tanah, lahan, tempat tinggal, dsb. Namun kita mengangkat derajat kata ini lebih baik ketika kita menggunakannya dalam konteks: pengelolaan situs, artefak, candi, dsb.

Pertanyaannya, bagaimana kita akan melakukannya?


Kembali kepada sila keempat, Pancasila:

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan/perwakilan.

Ada 3 kata kunci di sini --masing-masing merupakan bahasa 'kuna' yang perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih kontekstual:
  • kerakyatan: kedaulatan rakyat, yang diterjemahkan sebagai partisipasi rakyat dalam tiap-tiap penentuan kebijakan, terutama yang langsung bersangkutan dengan kepentingan hidup mereka sehari-hari.
  • hikmat/kebijaksanaan: "knowledgeable"
  • permusyawaratan/perwakilan: musrenbang, pemilu, parlemen, dsb.
Ada banyak bentuk implementasi yang bisa dinegosiasikan di sini --beberapa inisiatif di antaranya sudah dimulai oleh banyak sahabat-sahabat MADYA dalam kerangka demokrasi. Sebagaimana kita lihat, nasib berbagai warisan budaya tidak kunjung membaik, bahkan kita cenderung mendengar banyak warisan budaya yang sedang terancam.

Oleh karena itu, tindakan logis berikutnya adalah: bagaimana menyatukan inisiatif itu? Kemudian, sesudah menyatukan inisiatif itu, musti bagaimana?

Mau tak mau, menuju perubahan yang efektif adalah melakukannya secara politik.

Saat ini banyak orang yang a priori terhadap politik --sama halnya dengan penulis. A priori barangkali muncul karena beberapa hal: depolitisi warga negara pada akhir era Soekarno dan sepanjang era Soeharto, serta perilaku para politisi akhir-akhir ini yang ... (silakan tambahkan sendiri).

Satu hal yang jarang disadari oleh publik adalah, bahwa politik TIDAK berkaitan dengan penguasa, tidak berkaitan dengan sebuah partai politik, tidak berkaitan dengan massa, bahkan sebenarnya tidak berkaitan dengan politisi. Politik adalah semata-mata berkaitan dengan penentuan kebijakan, serta cara-cara penentuan kebijakan itu.

Setidak-tidaknya, demikian pengertian politik yang digunakan dalam wacana ini.

Politik dalam pengertian ini, yang penulis maksud dengan pentingnya pendidikan politik bagi seluruh warga negara, serta perbaikan etika dan tata cara berpolitik di segala tingkat.

Apakah ini menjadi sebuah revolusi, sebuah perubahan total? Tidak. Sebagaimana halnya dengan kata "politik", banyak orang yang a priori dengan kata "revolusi". Tentu akibat berbagai citra tentang kekerasan berdarah setiap kali kita mendengarkan kata ini. Namun revolusi yang paling besar, sesungguhnya, adalah revolusi yang ada dalam diri kita masing-masing sebelum melangkah ke tingkatan yang lebih luas. Revolusi diri yang berhasil terjadi melalui pendidikan: hal ini telah terbukti dalam pribadi Anda-anda yang sedang membaca tulisan ini. Sedikit lebih jauh: revolusi kebudayaan yang berhasil, yang mana sedang kita upayakan bersama, adalah dengan menularkan kecintaan Anda pada kebudayaan kepada orang-orang di sekitar Anda.

Tak perlu tulisan lebih jauh tentang hal ini --Anda telah melakukannya dengan baik di lapangan, maupun menggunakan berbagai media seperti blog, website, akun Facebook, dsb.

Kembali pada kebijakan.

Tampaknya tak perlu kerja raksasa untuk melakukan perbaikan terhadap berbagai model pengambilan kebijakan yang sudah ada, melainkan hanya perlu sedikit perbaikan. Best practices-nya bisa diambil dari sana-sini: penentuan kebijakan di tingkat desa, melibatkan masyarakat dalam penentuan kebijakan tingkat kabupaten/kota (sebuah standar nasional, namun implementasi yang baik jarang kita lihat di sebagian besar kabupaten/kota). Hal yang sama bisa kita lakukan setiap kali berbicara tentang pengelolaan warisan budaya.*

*
Berbicara tentang barang berharga muatan kapal tenggelam (BMKT), tampaknya sedikit demi sedikit kita harus beringsut ke depan lebih jauh. Berdasarkan kebijakan nasional yang ada pada saat ini, BMKT merupakan bagian dari kewenangan nasional. BMKT tidak terkait dengan sebuah desa, atau pemkot/pemkab pada umumnya, atau organisasi masyarakat awam yang sudah ada.

Berbicara tentang perbaikan model pengambilan kebijakan, kita kembali kepada topik di atas, hal mana telah kita sadari bersama: menyatukan berbagai inisiatif.

Menyatukan berbagai inisiatif bukan merupakan pekerjaan raksasa, namun bagaimana pun juga merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Bagaimana pun juga, sekedar menyatukan inisiatif pun masih jauh dari cukup --dari seluruh warga negara yang peduli kepada kebudayaan, seberapa banyak yang aktif (di luar kepedulian sebagai pribadi)?

Dengan kata lain, memang semakin mendesak dirasa perlunya sebuah jejaring besar dalam bentuk satu-dua organisasi.

Anda bisa mengamati, bahwa organisasi-organisasi kebudayaan yang sudah ada sekarang ini belum bisa mewakili publik. Organisasi-organisasi kebudayaan selama ini baru terbatas pada organisasi profesi, organisasi akademis, dan organisasi-organisasi penikmat kebudayaan --tari, batik, musik tradisi, seni pertunjukan tradisi, dsb. Kategori yang terakhir jumlahnya sangat banyak dan sifatnya lebih terbuka kepada publik, namun di sisi lain juga lebih spesifik terhadap varian kebudayaan tertentu. Perlu juga diingat bahwa sebagian besar warga negara belum terwakili ke dalam ketiga bentuk organisasi pegiat kebudayaan yang telah disebutkan ini.

Setelah berbagai inisiatif kebudayaan ini ini bersatu, tampaknya ketiga jenis jejaring ini pun belum cukup punya suara untuk membuat perubahan. Di satu sisi, aksesibilitas terhadap politik barangkali cukup besar, mengingat keberadaan sejumlah tokoh dari ketiga jenis organisasi ini di tingkat nasional, namun secara nominal jumlah mereka terlalu sedikit. Bisa kita lihat, bahwa seringkali mereka tidak berdaya, terutama jika harus berhadapan dengan otoritas lain yang lebih tinggi (meskipun seandainya otoritas yang lebih tinggi ini hanya menjabat untuk sementara waktu).

Selain itu, hal ini tidak mencerminkan sistem perwakilan yang dipilih oleh para konstituen sebagaimana diatur dalam UU, melainkan sebuah cermin budaya elitis (yang sayangnya, masih mendominasi seluruh ruang lingkup tata pemerintahan RI).

Kabar baiknya adalah, secara bersama-sama kita bisa melakukan perubahan ini melalui demokrasi.

Hal ini antara lain menjadi alasan mengapa para pegiat kebudayaan perlu memperluas jejaring dengan pegiat-pegiat kemanusiaan yang lain: para penggerak hukum, HAM, Demokrasi, kesetaraan gender dan hak-hak perempuan, lingkungan, kesadaran bencana, dsb. Jangan lupa, bahwa para penggerak hukum, HAM, Demokrasi, kesetaraan gender dan hak-hak perempuan, lingkungan, kesadaran bencana, dsb. ini juga memerlukan "sentuhan kebudayaan" dalam aktivitas mereka.

Kalau diringkas:
  1. menyatukan berbagai inisiatif kebudayaan ke dalam satu-dua organisasi yang demokratis
  2. memperluas jejaring dengan kegiatan advokasi yang lain
  3. memberikan 'knowledgeable input' bagi para pengambil kebijakan di segala tingkat administrasi
Sebuah roadmap yang sungguh jauh, yang tak bisa dilakukan oleh seorang pun di sini. Juga tak bisa dilakukan sendirian oleh setiap orang yang mau menyebut dirinya bagian dari MADYA. Namun jika setiap orang dari kita mau memberikan sedikit --kembali kepada inspirasi perjuangan RI untuk merebut otonomi-- jelas bahwa ini bukan merupakan sebuah hal yang tidak mungkin.

Sebagai sebuah aksi untuk saat ini, yang bisa kita lakukan masing-masing sebagai individu maupun organisasi adalah memberikan pendidikan kepada publik tentang beberapa isu, antara lain:
  1. Informasi tentang keberadaan warisan budaya dan masyarakat tradisi di sekitar kita. Informasi mencakup berbagai macam hal yang ada dalam warisan budaya itu: sejarah, nilai-nilai, penanggung jawab, dsb. Beberapa di antaranya terdokumentasi dan terlindungi dengan baik (misalnya batik, beberapa situs atau candi), dan isu yang relevan dengan hal ini adalah tentang pengelolaan warisan budaya ini agar memberikan manfaat ekonomi bagi rakyat kecil dan bukannya segelintir elit di berbagai departemen atau BUMN yang mendapat manfaat. Beberapa yang lain dalam status terancam, dan isu yang relevan antara lain tentang upaya-upaya perlindungan dan pembinaannya.
  2. Perlindungan dan pengelolaan warisan budaya merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah terwakili oleh pemerintah kabupaten/kota serta beberapa instansi seperti BP3, Puslitarkenas/Balar, dll. Sementara wujud tanggung jawab pemerintah diimplementasikan oleh lembaga-lembaga di atas, wujud tanggung jawab masyarakat bisa diimplementasikan lewat organisasi-organisasi profesi/akademis serta komunitas-komunitas lokal yang berkaitan dengan warisan budaya tertentu.
  3. Inisiatif perorangan/kelembagaan merupakan kontribusi yang penting dalam dokumentasi maupun penyiaran mengenai warisan budaya.
Ada yang mau menambahkan?
blog comments powered by Disqus
Related Posts with Thumbnails
^ Kembali ke atas