Sabtu, 08 Mei 2010

BENTENG SUROSOWAN, SISA KEBESARAN NEGERI BANTEN

PARA wanita cantik itu keluar dari kaputren, lalu dengan gemulai menuruni anak tangga menuju pemandian Rara Denok. Tidak lama kemudian, mereka sudah asyik berendam di kolam berair bening. Tawa renyah terdengar dari mulut mereka, ditingkahi gemercik air yang mengalir dari pancuran. Para putri keraton itu biasanya betah berlama-lama saat membersihkan diri pada pagi dan sore hari.

Seperti itulah kebiasaan mandi para putri kalangan Kesultanan Banten pada masa lampau. Pemandian tersebut berada di dalam Kompleks Keraton Surosowan yang kini berada di kawasan Banten Lama, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kab. Serang, atau sekitar 10 kilometer di utara Kota Serang. Lokasi keraton terletak di sebelah selatan Masjid Agung Banten.

Kolam Rara Denok berbentuk persegi empat dengan panjang sekitar 30 meter dan lebar 14 meter. Sementara kedalamannya mencapai 4,5 meter. Di tengah pemandian terdapat kolam yang ukurannya lebih kecil, tempat istirahat bernama bale kambang. Terlindungi oleh benteng yang tinggi dan pintu yang kokoh. Dengan demikian, para wanita akan merasa aman dan nyaman di tempat tersebut.

Namun, kini keindahan pemandian kelas VIP itu hanya menyisakan air kotor hijau. Tembok kolam bagian luarnya hanya tersisa sekitar 0,5 meter. Meski demikian, batu bata merahnya masih tampak kuat dengan kualitas bangunan yang bagus. "Rupanya kolam ini menyimpan banyak cerita tentang kecantikan putri keraton, ya," ujar Hazairin Sueb (45), seorang pengunjung asal Tasikmalaya.

Sebenarnya bukan hanya memyimpan cerita tentang para putri keraton, Rara Denok juga menjadi bagian penting dari sentuhan teknologi pengairan yang sangat maju pada zamannya. Air untuk memenuhi kebutuhan kompleks keraton dialirkan dari danau buatan bernama Tasik Ardi yang jaraknya sekitar 2,5 kilometer di sebelah selatan keraton. Danau tersebut dibuat pada masa Sultan Maulana Yusuf (1570-1580 M)

Sebelum masuk ke kompleks keraton, air yang dialirkan melalui pipa dari tanah liat itu harus melalui tiga tahap penyaringan. Bangunan tempat penyaringan itu menyerupai gerbong kereta api yang disebut pangindelan. Penyaringan pertama disebut Pangindelan Abang, kemudian Pangindelan Putih, dan terakhir Pangindelan Mas. Pembangunan saluran air tersebut dibuat pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683 M) dengan melibatkan arsitek Belanda bernama Hendrick Lucasz Cardeel.

Semua bangunan pangindelan hingga kini masih berdiri kokoh, tetapi tidak lagi berfungsi seperti dulu. Bagian dalam mengeluarkan bau tidak sedap karena dipakai sarang kelelawar. Sementara Tasik Ardi yang berluas 6,5 hektare dan dulu sering dijadikan tempat rekreasi keluarga keraton, kini menjadi salah satu tempat wisata favorit bagi warga Banten.

Dirusak dan dibakar

Ketika berniat mengunjungi Keraton Surosowan, jangan bayangkan satu keraton dengan bangunan utuh, seperti Keraton Cirebon atau Yogyakarta. Apalagi, membayangkan di dalamnya bertakhta seorang raja yang menjadi simbol budaya masyarakat setempat. Surosowan hanya puing-puing hampir rata dengan tanah yang berada dalam benteng. Luas keseluruhannya mencapai sekitar 4 hektare.

Menurut berbagai sumber bacaan, Istana Surosowan dibangun Panembahan Hasanuddin, sultan pertama Banten (1526-1570 M). Sebutan Surosowan sebagai nama keraton, berkembang menjadi nama wilayah kekuasaan. Bahkan, kemudian, nama resmi kerajaan Islam di Banten adalah Negeri Surosowan.

Pada mulanya kompleks keraton tidak semegah seperti tercermin dari reruntuhannya. Namun, pada masa Sultan Abdulfatah (Sultan Ageng Tirtayasa), dalam kaitan jalinan persahabatan internasional, sejumlah teknisi Eropa diundang. Selain dilibatkan dalam pembuatan kapal-kapal niaga, mereka juga dilibatkan dalam perbaikan kompleks Keraton Surosowan.

Istana megah itu kemudian dibuat lebih indah dan lebih tahan dari berbagai serangan. Di dalamnya dibangun pancuran dan kolam pemandian. Di sekelilingnya dibangun tembok terbuat dari bata merah yang cukup tebal. Pada sudut-sudut benteng dibangun menara penjaga (bastion). Jalan masuk ke istana, berbentuk busur, diberi dinding bata pada kedua tepinya untuk menghindari pengintaian dari luar.

Dalam sejarahnya, keraton ini mengalami beberapa kali kehancuran. Antara lain ketika terjadi peperangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan anaknya sendiri, Sultan Haji, yang bekerja sama dengan penjajah Belanda. Meski kemudian diperbaiki lagi, perlawanan dari rakyat terhadap Sultan Haji terus berlangsung dan membuat keraton rusak lagi.

Akan tetapi, kerusakan yang paling parah terjadi pada masa Sultan Aliuddin II (1803-1808). Ketika Herman Willem Daendels meminta Sultan agar mengirimkan seribu pekerja rodi untuk membangun jalur jalan Anyer-Panarukan. Selain itu, juga meminta agar Patih Mangkubumi Wargadiraja diserahkan dan ibu kota kesultanan dipindahkan ke Anyer karena di sekitar Surosowan akan dibangun benteng Belanda.

Tentu saja permintaan tersebut ditolak mentah-mentah. Terjadilah peperangan hebat yang berakhir dengan penaklukan Surosowan dan penangkapan Sultan Aliudin II lalu dibuang ke Ambon. Sementara Patih Mangkubumi Wargadiraja dihukum pancung. Perlawanan rakyat Banten tidak berhenti. Pada 1809, Daendels menghancurkan dan membakar Sorosowan. Puncak kerusakan keraton tersebut terjadi pada tahun 1813.

Benteng utuh

Memang bangunan Keraton Surosowan tidak ada lagi yang utuh. Semuanya nyaris rata dengan tanah. Namun, dengan melihat reruntuhan itu, akan terbayang semegah apa bentuk fisik istana tersebut. Beruntung, para pelancong agak terhibur dengan melihat benteng keraton yang hingga kini masih kokoh berdiri.

Meskipun benteng keraton masih kokoh, kelihatan sekali bangunan itu kesepian dan tidak terurus. Sampah bertebaran di mana-mana, di sana sini sudah ada kerusakan pada tembok benteng. Padahal, benteng ini satu-satunya peninggalan di kompleks keraton yang relatif masih utuh..

Bagi sebagian orang, beberapa bagian pada benteng itu sering dijadikan tempat untuk bersemedi. Biasanya, mereka menempati ruang-ruang kecil bekas tempat penjagaan. Mereka tidak peduli tempatnya pengap dan becek. Di beberapa ruang kecil itu masih terdapat bekas alas tidur dan sisa-sisa ritus.

Merekonstruksi bangunan keraton merupakan sesuatu yang sulit dilakukan dan membutuhkan biaya mahal. Biarlah reruntuhan itu menjadi saksi kehebatan rakyat Banten yang tidak mau tunduk kepada penjajah. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah memelihara yang masih tersisa. Maka, semestinyalah keberadaan benteng itu mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah setempat.
blog comments powered by Disqus
Related Posts with Thumbnails
^ Kembali ke atas